Kamis, 20 November 2014

Tentang Masalah



TENTANG MASALAH

“Tami, kok hidup kamu keliatannya nggak pernah punya masalah, sih? Tenang-tenang aja gitu keliatannya.” – seorang temen, 2014 –

Well, gue hanya bisa tersenyum setelah mendengar opini sepihak dari temen sekelas gue itu. Tidak punya masalah, eh? Who’s that lucky guy who have never been trapped in problems?

Gue merasa harus mengklarifikasi ini. Well, gue bukannya gak punya masalah. Cuma, seperti yang telah sering gue utarakan pada postingan di blog gue, gue adalah tipe orang yang tabu buat curhat pada orang lain. Alasannya sederhana, karena mereka juga pasti punya masalah yang mungkin jauh lebih berat dibandingkan masalah-masalah yang gue hadapi. Dan alasan berikutnya, adalah karena gue belum pernah bisa sepenuhnya mempercayai seseorang.
It doesn’t mean that I have no bestfriends. I do. I really do. Tapi, tetap, rasanya sulit untuk curhat pada orang lain. I wonder why. Sebenarnya, gue punya banyak masalah yang mungkin tak pernah terbayangkan oleh temen-temen atau bahkan sahabat di sekitar gue.

Titik balik hidup gue adalah ketika bapak gue meninggal dunia. Peristiwa kehilangan tersebut terjadi pada 26 Oktober 2009. Waktu itu, gue masih kelas 6, dan umur gue baru genap 11 tahun selama 1 bulan. Dan gue sendiri sadar, bahwa gue bukanlah gue yang dulu.

Hmm, FYI, sebelum tanggal paling menyesakkan itu, gue adalah seorang anak yang aktif, ceria, dan ceplas-ceplos. Ah, you name it. Tapi setelah peristiwa kehilangan itu, gue...... berubah?
Bapak gue meninggal karena komplikasi. Dan seriously, you’ll never know what my family have through to overcome things. What I’ve through so far. Terlalu banyak..... cerita jika harus diceritakan. Dan hal-hal yang complicated terus-menerus datang kepada keluarga kami, kepada gue. Bahkan sebelum bapak gue meninggal, banyak banget perjuangan yang mesti kami lakukan untuk menyambung hidup, untuk dapat mengembalikkan kesehatan bapak, dan segala macam hal kompleks yang tidak pernah gue ceritakan pada seorang pun. Dan keluarga gue...... ah I can’t tell. I won’t tell. Too much things. That’s just too much.

Menghadapi banyak cerita di usia yang cukup muda, tentu membuat gue harus menjadi pribadi yang lebih tangguh, teguh, bukan rapuh. Mungkin karena berbagai peristiwa yang gue alami—yang belum tentu temen-temen seusia gue alami—gue menjadi orang yang jauh lebih tertutup. Gue mudah percaya orang lain tapi tidak mudah percaya orang lain. Nah, lho? Maksudnya, gue akan selalu mencoba percaya pada setiap cerita yang diceritakan orang lain alias selalu mencoba husnuzhzhan. Tapi gue tidak mudah untuk memercayakan segala cerita yang telah gue alami ke permukaan. It doesn’t suit me. Bahkan, temen gue sering meminta gue untuk menceritakan masalah yang gue alami. But, hey dude, it’s not that easy

Kadang orang-orang berkata bahwa dengan menceritakan masalah yang kita alami, kita akan jauh lebih bahagia. Gue pikir gak begitu. Anggapan itu jelas salah. Kalo kita membicarakan masalah kita kepada siapa aja, bukannya masalah kita terselesaikan, tapi justru masalah kita akan lebih bertambah. Yang jelas, bukan bagaimana kita curhat pada orang lain, tapi kepada siapa kita curhat. Well, seperti yang udah gue bilang, gue menjadi pribadi yang agak tertutup kalo berkaitan dengan kehidupan pribadi. Karena itu, gue selalu memposisikan diri gue sebagai pengamat. Gue telah melihat banyak hal yang mungkin luput dari pandangan orang.

Gue sering melihat orang-orang—khususnya cewek—bergosip ria tentang masalah orang lain dengan entengnya. Mengeluarkan seluruh aib seseorang ke permukaan publik, dengan enteng. Gue gak habis pikir, kok ada orang yang setelah diberikan kepercayaan sama temennya sendiri bisa dengan mudahnya membocorkan hal itu ke ruang publik, dan jadi bahan konsumsi massa.
Misalnya, gue cerita kepada si A mengenai masalah ini dan itu. Dan beberapa jam kemudian, udah banyak aja temen lain yang tau masalah itu. Bahkan banyaaaaaak sekali temen yang terlihat bisa dipercaya namun justru dengan mudahnya membicarakan keburukan dan masalah temennya sendiri. I really don’t get them. Ini bukan kejadian langka, tapi udah jadi kejadian endemik di sekitar gue. Dan oleh karena hal tersebut, gue semakin sulit untuk mempercayakan cerita gue kepada orang lain. Sulit.

Karena gue memposisikan diri gue sebagai pengamat, gue jadi lebih mengerti bagaimana rasa sakit seseorang. Banyak orang yang pernah mencurahkan isi hatinya pada gue—adik kelas, temen, kakak kelas, temen dunia maya, dan lainnya—dan gue tidak akan membocorkannya ke khalayak ramai. Gue sadar betul akan rasa sakitnya dikhianati oleh orang yang dipercayai. Lucunya, masalah-masalah yang mereka ceritakan itu kebanyakan pernah gue alami. Lol.
Nah, karena itulah, seperti yang telah gue sebutkan di postingan gue sebelum-sebelumnya, gue lebih nyaman kalo ada orang lain yang curhat kepada gue ketimbang gue yang mesti cerita pada mereka. Di atas itu semua, gue menjadi lebih paham tentang rasa sakit. Gue mungkin tidak bisa memberikan solusi mujarab bagi setiap rasa sakit dan cerita yang orang-orang percayakan untuk gue dengar, tapi setidaknya gue pasti menyediakan telinga dan hati gue untuk mendengarkan dan memahami. Ini bukan modus, lho.

Setiap orang mustahil tidak mempunyai masalah. Setiap orang mempunyai rasa sakit mereka sendiri. Jadi berhenti menganggap diri lo menderita, kalo lo belum pernah tau rasa sakit orang lain.

The funny thing is, salah seorang guru gue kemarin bilang gini ke gue (bener-bener pake bahasa Inggris, bukan rekayasa, lho!):
A : “Tami, do you realize that people is curious about you? About how you feel, what you think, what lies behind your expression, how you survive in your silence. Do you realize that I always see you, and getting curious about yourself?”
Me : “I’m not confident about telling my story to others. I don’t really like such things.”
A : “That’s the problem. Why don’t you tell people about yourself?”
Terjemahan :
A : “Tami, apa kamu sadar kalo orang-orang penasaran tentang kamu? Tentang bagaimana perasaan kamu, apa yang kamu pikirkan, apa yang ada dibalik ekspresi kamu, bagaimana kamu berjuang dalam diam. Apa kamu sadar saya selalu memperhatikan kamu dan semakin ingin tahu tentang kamu?
Gue : “Saya tidak yakin untuk menceritakan cerita saya pada orang lain. Saya tidak terlalu suka hal semacam itu.”
A : “Itulah masalahnya. Kenapa kamu tidak memberitahu orang-orang tentang diri kamu?”

Uhuk. Sedikit geli, gue hanya bisa tersenyum.
Kenapa gue tidak bisa memberitahukan tentang diri gue pada orang lain, ya? Disamping alasan-alasan yang telah gue kemukakan di atas, mungkin kelak gue akan bisa meraih kepercayaan untuk menceritakan diri gue pada seseorang. Mungkin, jika ada seseorang—entah temen gue atau siapapun—yang cukup berani dan mampu menghancurkan dinding pertahanan gue, gue akan cukup berani bercerita. Let’s see. Ahaha ngomong apa sih gue? Sok banget ya gue ini hihihi.

In the end, satu hal yang bisa gue simpulkan dari postingan gue adalah, bahwa setiap orang punya masalah dan rasa sakitnya masing-masing. Karena seperti garis naik-turun pada mesin electro cardio graph alias alat pantau jantung yang menandakan hidupnya seorang pasien, hidup kita juga punya garis naik-turun yang menandakan bahwa kita memang hidup. Karena jika garisnya lurus, berarti kita mati.

Jumat, 23 Mei 2014

Saat Mahabbah (Cinta) Diinterpretasikan Salah = Musibah!

Bismillah, mencoba untuk mengupas masalah 'pacaran' dalam kacamata Islam (mungkin) dan pandangan pribadi. Jika ada kesalahan, jangan ragu untuk memberitahukannya ^^
Ini adalah materi khitobah (ceramah) saya di depan kelas seminggu yang lalu. Semoga bermanfaat!

---------------------------


SAAT MAHABBAH DIINTERPRETASIKAN SALAH = MUSIBAH!

Bismillaahirrahmaanirraahiim.
Assalaamu’alaykum warahmatullaahi wabarakaatuh.
Alhamdulillaahirabbil’aalamiin. Wabihi nasta’iinu ‘alaa umuuriddunya waddiin. Wassholaatu wassalaamu ‘alaa asrofil anbiyai wal-mursaliin, wa’alaa aalihi washohbihi ajmain. Amma ba’du.
Puji dan syukur marilah kita panjatkan ke hadirat Ilahi Rabbi, yang dengan karunia-Nya lah kita semua masih dapat merasakan Al-Kautsar (nikmat yang banyak) termasuk nikmat Islam dan Iman. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, kepada keluarganya, kepada sahabatnya, dan kepada kita selaku ummatnya yang mencintai dan taat hingga akhir hayat.
Berbicara tentang cinta, saya ingin bertanya mengenai cinta menurut rekan-rekan. Pastilah rekan-rekan mendefinisikannya dengan macam-macam kalimat yang indah, dan lain sebagainya.
Menurut Kahlil Gibran, cinta tidak punya makna selain mewujudkan maknanya sendiri. Cinta tidak memberikan apa-apa pada manusia, kecuali keseluruhan dirinya, dan cinta pun tidak mengambil apa-apa dari manusia, kecuali dari dirinya sendiri.
Dalam Al-Qur’an, setidaknya terdapat 4 jenis cinta, yakni:
1.      Cinta syaghaf, yaitu cinta yang sangat mendalam, alami, orisinil, dan memabukkan. Orang yang terserang cinta jenis syaghaf (qad syaghafaha hubba) bisa seperti orang gila, lupa diri dan hampir-hampir tidak menyadari apa yang dilakukan. Al-Qur’an menggunakan kata ini ketika mengisahkan bagaimana cintanya Zulaikha, istri pembesar Mesir kepada Yusuf.
2.      Cinta ra’fah, yaitu rasa kasih yang dalam hingga mengalahkan norma-norma kebenaran, misalnya kasihan kepada anak sehingga tidak tega membangunkannya untuk shalat, membelanya meskipun salah. Al-Qur’an menyebut kata ini ketika mengingatkan agar janganlah cinta ra’fah menyebabkan orang tidak menegakkan hukum Allah, dalam hal ini hukuman bagi pezina (Q.S. 24:2)
3.      Cinta shobwah, yaitu cinta buta, cinta yang mendorong perilaku penyimpang tanpa sanggup mengelak. Al-Qur’an menyebut ini ketika mengisahkan bagaimana Nabi Yusuf berdoa agar dipisahkan dengan Zulaikha yang setiap hari menggodanya (mohon dimasukkan penjara saja), sebab jika tidak, lama kelamaan Yusuf tergelincir juga dalam perbuatan bodoh (Q.S. 12:33)
4.      Cinta kulfah, yakni cinta yang disertai kesadaran mendidik kepada hal-hal positif meski sulit (Q.S. 2:286)
Namun, kian hari, kian marak muslimin dan muslimah—terutama muslimin dan muslimah remaja—yang salah menginterpretasikan cinta atau mahabbah ini. Tak sedikit yang beranggapan bahwa rasa cinta kepada lawan jenis harus diwujudkan dalam satu ikatan, yang kini lebih dikenal dengan istilah ‘pacaran’.
Terdapat banyak sekali beda pendapat mengenai hukum berpacaran. Sebagian ummat mengatakan bahwa hukum berpacaran adalah haram, dan sebagian lainnya mengatakan bahwa berpacaran adalah sah-sah saja, asalkan tidak melewati batas. Nah, bagaimana hukum berpacaran dalam Islam itu sendiri?

PACARAN DALAM ISLAM

Sesungguhnya, tidak ada ayat maupun hadits yang mengatakan secara gamblang mengenai hukum berpacaran dalam Islam. Hal inilah yang menimbulkan anggapan bahwa berpacaran adalah hal yang halal dalam Islam.
Akan tetapi, dalam Al-Qur’an surat Al-Israa ayat 32, Allah ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Q.S. Al-Israa 17:32)
Mengapa pacaran dianggap sebagai perbuatan yang mendekati zina? Jelas, hal ini dikarenakan pacaran yang marak ditemukan dewasa kini bermula dari bertatapan mata, mendengarkan suara, membayang-bayangkan atau melamunkan sang pujaan hati, selalu memikirkan pujaan hati, dan lalu diikuti dengan pelbagai aktivitas berkhalwat (berduaan). Tak lepas sampai disitu, aktivitas berkhalwat seringkali dibarengi juga dengan aktivitas berpegangan tangan, bertatapan, dan aktivitas yang lebih intim dari hal itu. Padahal sudah jelas, berpegangan tangan antar anak Adam yang bukan mahrom adalah haram.
 “Demi Allah, sungguh jika kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum daru besi, maka itu lebih baik dari menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” [H.R. Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi dari Ma’qil bin Yasar radhiyallaahu ‘anhu, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-shahihah no. 226]
Bahkan Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wasallam, kekasih Allah—pun tidak pernah bersentuhan dengan wanita yang bukan mahromnya.
“Demi Allah, tangan Rasulullaah saw tidak pernah menyentuh tangan wanita (bukan mahram) sama sekali meskipun dalam keadaan memba’iat. Beliau tidak memba’iat mereka kecuali dengan mengatakan: ‘Saya bai’at kalian.’” [H.R. Al-Bukhari]
Tapi, bagaimana jika pacaran tidak diikuti dengan aktivitas berpegangan tangan? Bukankah sah-sah saja? Toh, tidak melanggar syariat, kan?
Dari Abu Hurairah radiyallaahu ‘anhu, Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga adalah mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.” [H.R. Muslim no. 6925]
Jika kita melihat pada hadits di atas, menyentuh lawan jenis yang bukan mahrom diistilahkan dengan berzina. Hal ini berarti menyentuh lawan jenis adalah perbuatan yang haram karena berdasarkan kaidah ushul “apabila sesuatu dinamakan dengan sesuatu lain yang haram, maka menunjukkan bahwa perbuatan tersebut adalah haram.” (Tasyir Ilmi ushul Fiqih, Abdullah bin Yusuf Al Juda’i).
Jadi, sudah jelas bahwa aktivitas-aktivitas yang meskipun tidak disertai dengan bersentuhan tangan, tetapi tetap menimbulkan syahwat pada seseorang, maka dosa-lah ia. Tidak peduli meskipun status keduanya berpacaran. Sedangkan dosa zina itu sudah jelas: didera 100 kali dengan disaksikan oleh orang-orang yang beriman dan tanpa belas kasihan agar menimbulkan efek jera bagi si pezina. Itu baru zina. Bagaimana jika zina-nya dilaksanakan oleh seluruh anggota badan, berkali-kali, dan farji membenarkan yang demikian? Sungguh, api neraka sangatlah dahsyat panasnya.

CINTA TAK HARUS DISALURKAN LEWAT PACARAN

Pacaran, terkadang juga mengundang acara ‘berkhalwat’ atau berduaan antara ikhwan dan akhwat yang bukan mahrom. Berkhalwat sudah seperti hal yang wajib ditunaikan saat berpacaran.
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah seorang laki-laki sendirian dengan seorang wanita yang tidak disertai mahramnya. Karena sesungguhnya yang ketiganya adalah syaitan.” [H.R. Imam Ahmad]

Lalu harus dengan apakah cara menyalurkan rasa cinta itu?
Dari Ibnu Abbas, Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kami tidak pernah mengetahui solusi untuk dua orang yang saling mencintai semisal pernikahan.” [H.R. Ibnu Majah no. 1920. Dishahihkan oleh Syaikh Albani]
Jika belum cukup umur untuk menikah?
“Barangsiapa yang mampu untuk menikah, maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagaikan kebiri.” [H.R. Bukhari dan Muslim]
Muncul pertanyaan, jika kita tidak pacaran, bagaimana mungkin kita bisa mengetahui mana pasangan yang tepat untuk masa depan kita nanti? Pacaran kan hanya untuk sosialisasi?

Jangan takut. Sesungguhnya, dalam Islam, diperkenalkan suatu istilah ta’aruf. Ta’aruf adalah perkenalan antara ikhwan dan akhwat sebelum terlaksananya pernikahan. Tapi, tidak dengan melanggar batas-batas syari’at. Dan yang melaksanakan ta’aruf biasanya dan sebaiknya adalah ikhwan dan akhwat yang sudah cukup umurnya, matang kepribadiannya, serta sudah siap untuk menikah. Bukan ikhwan dan akhwat yang masih berstatus pelajar, yang mengatasnamakan cinta untuk bermaksiat. Yang berganti-ganti pasangan layaknya memakan gorengan seharga Rp. 500. Dipilih-dipilih, disentuh-sentuh, tapi tidak pasti terbeli. Jodoh itu seperti cupcake, mahal, terhormat, diletakkan pada etalase, dirawat, dilarang disentuh sebelum dibeli. Dibeli dengan mahar.
Jadi intinya, boleh tidak kita berpacaran? Islam sendiri (menurut beberapa sumber yang saya himpun) memperbolehkan adanya perkenalan antara ikhwan (laki-laki) dan akhwat (perempuan) sekedar melakukan nadzar (melihat calon istri sebelum dinikahi, dengan didampingi mahramnya), itu dianggap sebagai pacaran. Atau setidaknya, diistilahkan demikian. Namun itu sungguh merupakan perancuan istilah. Istilah pacaran sudah kadung dipahami sebagai hubungan lebih intim antara sepasang kekasih, yang diaplikasikan dengan jalan bareng, jalan-jalan, saling berkirim surat, ber SMS ria, dan berbagai hal lain, yang jelas-jelas disisipi oleh banyak hal-hal haram, seperti pandangan haram, bayangan haram, dan banyak hal-hal lain yang bertentangan dengan syariat.
Nah, dalam hemat pribadi saya sendiri, pacaran itu boleh ASALKAN: tidak berkhalwat, tidak disisipi oleh hal-hal haram, tidak mengesampingkan Allah, tidak memandang langsung sang doi yang langsung menimbulkan hasrat, tidak mengutamakan doi, tidak merayu doi, tidak bertingkah selayaknya orang yang telah menikah, tidak melaksanakan hal-hal yang dilarang agama. Lantas, muncul pertanyaan: “Terus apa bedanya dengan pertemanan biasaaaaa?!” Naaah, jadi, saya lebih menyarankan ukhti dan akhi untuk berteman daripada pacaran, selain bisa mengetahui sang doi lebih dekat, tidak akan ada istilah ‘putus silaturrahmi’ setelah putus hubungan. Pertemanan itu ever lasting, pacaran itu ever breaking XD
“Sesungguhnya Allah swt pada hari kiamat berfirman: “Dimanakah orang yang cinta mencintai karena keagungan-Ku? Pada hari ini aku akan menaungi di hari yang tiada naungan melainkan naungan-Ku.” [H.R. Muslim]

Minggu, 23 Maret 2014

BEST PALS

Gue bukanlah orang yang menawan.

Gue gak cantik. Bukan orang kulit putih. Bukan berasal dari keluarga yang teramat kaya. Gak tinggi. Gak terlalu cerdas. Gak pandai mengakrabkan diri dengan orang lain. Bukan anak gaul. Hm, what else? Yah, pada intinya, gue gak bisa disebut orang yang menawan. Gak se-shalihah Khadijah atau Siti Aisyah.

Tapi anehnya, masih aja ada orang yang mau berteman dengan gue. Masih aja ada yang mau bersahabat dengan gue. Bahkan dengan seluruh kekurangan gue yang gak bisa disebut satu-satu, dan dengan minimnya kelebihan gue, gue masih mempunyai tempat diantara mereka. It's been an honour..

Then, gue sampai pada suatu kesimpulan bahwa sahabat sejati (whatever you called this) adalah orang-orang yang buta. Karena mereka gak melihat kita. Mereka 'me-rasa-kan' kita. Mereka ada untuk kita tanpa sebab. Mereka tidak pernah menggunakan kata 'karena' untuk ada di dekat kita, tapi senantiasa menggunakan kata 'walaupun' untuk ada di dekat kita. If you know what I mean.

If you don't get this, lemme explain. Jadi, sahabat sejati itu gak pernah bilang: "gue ada di dekat dia karena dia memahami gue" atau "gue dekat sia karena gue butuh dia", tapi mereka akan senantiasa bilang: "walaupun kata orang dia gak baik, gue akan selalu ada buat dia" atau "hell! Gue akan ada di dekat dia walaupun tanpa sebab".

Best pals are there for no reason. Sahabat sejati ada tanpa alasan.

Setelah sekian lama, gue baru sadar arti penting dari sahabat. Well, gue seringkali berpikir bahwa kata sahabat sejati terlalu lebay untuk diproklamirkan di depan umum, terkecuali jika kita mau ditertawakan karena terlalu sering menonton sinetron. Tapi yah, sahabat sahabat itu jadi penentu mutlak kebahagiaa kita. Dimanapun, kapanpun.

I'll say that if you never got a best pal, you gotta find one.

Sahabat paham tanpa kecam. Sahabat mengerti tanpa permisi. Yah pada akhirnya, gue pun mengakui kehebatan teman-teman yang menjadi sahabat orang-orang. Kita gak perlu jadi ranking satu atau jadi ilmuwan hebat buat mengakui itu. Butuh psikolog? Sahabat datang tanpa perlu mengeluarkan uang. Butuh guru? Sahabat menjelaskan tanpa pemaksaan. Butuh kebahagiaan? Make one with them is the easiest one.

Persahabatan itu gak harus selalu bisa dilihat. Bahkan, gue punya beberapa sahabat di dunia maya. Jujur, gue sangat kagum pada orang-orang yang bersahabat di dunia maya. Meskipun mereka gak pernah ketemu satu sama lain, mereka tetep percaya satu sama lain, tetep menempatkan diri sebagai sahabat. Hebat. Persahabatan dumay itu beberapa tahun ini gue temukan lewat beberapa komunitas, kaya Community of Creative Detective Indonesia (it's the best!), One Piece Fans Club Indonesia, atau komunitas lain. Mereka bisa saling menguatkan satu sama lain, saling ketawa (gak jarang saling menertawakan haha), mendukung satu sama lain, meskipun gak tau wajah asli orangnya. Hebat gak?

Jadi, jangan sia-siakan hidup kita cuma untuk sendirian. Untuk apa ada milyaran manusia di bumi ini, jika kita gak percaya dengan minimal salah satunya?

Luckily, I found soooo many best pals in my life. Mereka percaya tanpa cela, mendukung tanpa jeda. Jadi, adalah suatu kewajaran jika gue gak mau menjadi hambatan bagi sahabat-sahabat gue. Lebih dari itu, gue ingin menjadi orang yang layak diberi julukan sahabat. Gue mungkin gak punya hal-hal yang patut dibanggakan, atau pakaian mewah yang bisa dipamerkan, atau kecerdasan luar bisa yang bisa dielu-elukan. Tapi gue yakin, seseorang dengan hati yang baik akan selalu layak diperhitungkan. Sekalipun gue yang gak menawan. Iya, kan?

Jadi, ajarkan gue untuk selalu memiliki hati yang cantik. Gak peduli meski gak ada yang menyadarinya barang setitik.

Yah, seperti biasa, postingan gue ngalor ngidul dari awal ke akhir. Haha. Yah, semoga bermanfaat minimal sekata dua kata. Yah, selamat mencari dan membanggakan sahabat kita!! ^^

Rabu, 05 Maret 2014

KACAMATA KUDA



Halalkah gue untuk bercerita?

Entah ya. Gue selalu gak bisa curhat ke orang lain. Bahkan ke sahabat gue sekalipun. Consequently, they called me an anti-social girl. Gadis yang tertutup. Gadis jutek. Gadis yang gak peduli sama keadaan sekitar.

Tapi, serius. Bukan gitu. Bukannya gue gak percaya sama orang lain. Well, gue emang agak susah menunjukkan kepercayaan gue sama orang lain. At least I try. Gue gak pernah atau jarang curhat mengenai masalah pribadi karena gue gak mau membebani orang-orang di sekeliling gue. Mereka sendiri punya masalah yang mesti diselesaikan. Mungkin aja mereka punya lebih banyak masalah atau bahkan yang lebih besar. Jadi, teman-teman, bukannya gue gak percaya atau pendiam. Cuma...

Jujur, gue lebih senang ada orang lain yang curhat ke gue ketimbang gue yang curhat ke mereka. Well, gue pernah curhat beberapa kali tentang kehidupan pribadi gue. Beberapa kali. Gak sering. Gak seperti orang lain yang mudah curhat tentang masalah di keluarga mereka, gue memilih untuk bungkam setiap ada yang bertanya masalah gue di rumah. Daripada jadi aib, menurut gue. Jadi, mereka gak tau kehidupan gue seperti apa. Yah, gue harap nggak, ya.

Jujur lagi, nih. Gue mulai jengah saat ada orang lain yang mengomentari hidup gue tanpa tau bagaimana kehidupan gue. Jujur, gue benci saat ada orang lain yang mengatakan hidupnya sial atau apalah. Jujur, gue gak pernah suka sama orang yang menunjukkan bahwa dia begitu menderita dengan hidupnya. Jujur, gue selalu dongkol saat ada orang lain yang berkata bahwa situasi keluarga mereka lebih buruk dari siapapun. Percaya, kalian belum menerawang hidup lebih jauh. Jujur, gue gak suka sama orang-orang yang berkata bahwa hidup mereka sulit, padahal mereka gak pernah mengetahui sebetapa sulitnya situasi di keluarga orang lain.

Oh, please! Tau apa sih kalian tentang situasi keluarga orang lain? Kalo nggak tau, jangan bilang bahwa situasi keluarga lo lebih buruk. Jangan.

Gue gak bilang bahwa situasi keluarga gue jauh lebih buruk. Alhamdulillah, keluarga gue tercukupi oleh Allah. Tapi, gue pernah liat situasi keluarga yang ada di sekeliling gue. Ada yang broken home, ada yang yatim, ada yang piatu, ada yang yatim-piatu, ada yang hidup di bawah garis kemiskinan, ada yang anggota keluarganya gak mengenyam bangku pendidikan, ada yang tinggal berjauhan dengan orang tuanya, bahkan ada yang gak kenal orang tua mereka. Jadi, teman, satu atau dua pertengkaran di rumah kalian, biarlah. Jangan membuat kalian menilai bahwa keluarga kalian buruk. Merasa berkecukupan lah, maka Allah akan mencukupkan kita. There are  reasons why Allah placed you there...

Yah, gimana pun, gue benci kacamata kuda.