Kamis, 20 November 2014

Tentang Masalah



TENTANG MASALAH

“Tami, kok hidup kamu keliatannya nggak pernah punya masalah, sih? Tenang-tenang aja gitu keliatannya.” – seorang temen, 2014 –

Well, gue hanya bisa tersenyum setelah mendengar opini sepihak dari temen sekelas gue itu. Tidak punya masalah, eh? Who’s that lucky guy who have never been trapped in problems?

Gue merasa harus mengklarifikasi ini. Well, gue bukannya gak punya masalah. Cuma, seperti yang telah sering gue utarakan pada postingan di blog gue, gue adalah tipe orang yang tabu buat curhat pada orang lain. Alasannya sederhana, karena mereka juga pasti punya masalah yang mungkin jauh lebih berat dibandingkan masalah-masalah yang gue hadapi. Dan alasan berikutnya, adalah karena gue belum pernah bisa sepenuhnya mempercayai seseorang.
It doesn’t mean that I have no bestfriends. I do. I really do. Tapi, tetap, rasanya sulit untuk curhat pada orang lain. I wonder why. Sebenarnya, gue punya banyak masalah yang mungkin tak pernah terbayangkan oleh temen-temen atau bahkan sahabat di sekitar gue.

Titik balik hidup gue adalah ketika bapak gue meninggal dunia. Peristiwa kehilangan tersebut terjadi pada 26 Oktober 2009. Waktu itu, gue masih kelas 6, dan umur gue baru genap 11 tahun selama 1 bulan. Dan gue sendiri sadar, bahwa gue bukanlah gue yang dulu.

Hmm, FYI, sebelum tanggal paling menyesakkan itu, gue adalah seorang anak yang aktif, ceria, dan ceplas-ceplos. Ah, you name it. Tapi setelah peristiwa kehilangan itu, gue...... berubah?
Bapak gue meninggal karena komplikasi. Dan seriously, you’ll never know what my family have through to overcome things. What I’ve through so far. Terlalu banyak..... cerita jika harus diceritakan. Dan hal-hal yang complicated terus-menerus datang kepada keluarga kami, kepada gue. Bahkan sebelum bapak gue meninggal, banyak banget perjuangan yang mesti kami lakukan untuk menyambung hidup, untuk dapat mengembalikkan kesehatan bapak, dan segala macam hal kompleks yang tidak pernah gue ceritakan pada seorang pun. Dan keluarga gue...... ah I can’t tell. I won’t tell. Too much things. That’s just too much.

Menghadapi banyak cerita di usia yang cukup muda, tentu membuat gue harus menjadi pribadi yang lebih tangguh, teguh, bukan rapuh. Mungkin karena berbagai peristiwa yang gue alami—yang belum tentu temen-temen seusia gue alami—gue menjadi orang yang jauh lebih tertutup. Gue mudah percaya orang lain tapi tidak mudah percaya orang lain. Nah, lho? Maksudnya, gue akan selalu mencoba percaya pada setiap cerita yang diceritakan orang lain alias selalu mencoba husnuzhzhan. Tapi gue tidak mudah untuk memercayakan segala cerita yang telah gue alami ke permukaan. It doesn’t suit me. Bahkan, temen gue sering meminta gue untuk menceritakan masalah yang gue alami. But, hey dude, it’s not that easy

Kadang orang-orang berkata bahwa dengan menceritakan masalah yang kita alami, kita akan jauh lebih bahagia. Gue pikir gak begitu. Anggapan itu jelas salah. Kalo kita membicarakan masalah kita kepada siapa aja, bukannya masalah kita terselesaikan, tapi justru masalah kita akan lebih bertambah. Yang jelas, bukan bagaimana kita curhat pada orang lain, tapi kepada siapa kita curhat. Well, seperti yang udah gue bilang, gue menjadi pribadi yang agak tertutup kalo berkaitan dengan kehidupan pribadi. Karena itu, gue selalu memposisikan diri gue sebagai pengamat. Gue telah melihat banyak hal yang mungkin luput dari pandangan orang.

Gue sering melihat orang-orang—khususnya cewek—bergosip ria tentang masalah orang lain dengan entengnya. Mengeluarkan seluruh aib seseorang ke permukaan publik, dengan enteng. Gue gak habis pikir, kok ada orang yang setelah diberikan kepercayaan sama temennya sendiri bisa dengan mudahnya membocorkan hal itu ke ruang publik, dan jadi bahan konsumsi massa.
Misalnya, gue cerita kepada si A mengenai masalah ini dan itu. Dan beberapa jam kemudian, udah banyak aja temen lain yang tau masalah itu. Bahkan banyaaaaaak sekali temen yang terlihat bisa dipercaya namun justru dengan mudahnya membicarakan keburukan dan masalah temennya sendiri. I really don’t get them. Ini bukan kejadian langka, tapi udah jadi kejadian endemik di sekitar gue. Dan oleh karena hal tersebut, gue semakin sulit untuk mempercayakan cerita gue kepada orang lain. Sulit.

Karena gue memposisikan diri gue sebagai pengamat, gue jadi lebih mengerti bagaimana rasa sakit seseorang. Banyak orang yang pernah mencurahkan isi hatinya pada gue—adik kelas, temen, kakak kelas, temen dunia maya, dan lainnya—dan gue tidak akan membocorkannya ke khalayak ramai. Gue sadar betul akan rasa sakitnya dikhianati oleh orang yang dipercayai. Lucunya, masalah-masalah yang mereka ceritakan itu kebanyakan pernah gue alami. Lol.
Nah, karena itulah, seperti yang telah gue sebutkan di postingan gue sebelum-sebelumnya, gue lebih nyaman kalo ada orang lain yang curhat kepada gue ketimbang gue yang mesti cerita pada mereka. Di atas itu semua, gue menjadi lebih paham tentang rasa sakit. Gue mungkin tidak bisa memberikan solusi mujarab bagi setiap rasa sakit dan cerita yang orang-orang percayakan untuk gue dengar, tapi setidaknya gue pasti menyediakan telinga dan hati gue untuk mendengarkan dan memahami. Ini bukan modus, lho.

Setiap orang mustahil tidak mempunyai masalah. Setiap orang mempunyai rasa sakit mereka sendiri. Jadi berhenti menganggap diri lo menderita, kalo lo belum pernah tau rasa sakit orang lain.

The funny thing is, salah seorang guru gue kemarin bilang gini ke gue (bener-bener pake bahasa Inggris, bukan rekayasa, lho!):
A : “Tami, do you realize that people is curious about you? About how you feel, what you think, what lies behind your expression, how you survive in your silence. Do you realize that I always see you, and getting curious about yourself?”
Me : “I’m not confident about telling my story to others. I don’t really like such things.”
A : “That’s the problem. Why don’t you tell people about yourself?”
Terjemahan :
A : “Tami, apa kamu sadar kalo orang-orang penasaran tentang kamu? Tentang bagaimana perasaan kamu, apa yang kamu pikirkan, apa yang ada dibalik ekspresi kamu, bagaimana kamu berjuang dalam diam. Apa kamu sadar saya selalu memperhatikan kamu dan semakin ingin tahu tentang kamu?
Gue : “Saya tidak yakin untuk menceritakan cerita saya pada orang lain. Saya tidak terlalu suka hal semacam itu.”
A : “Itulah masalahnya. Kenapa kamu tidak memberitahu orang-orang tentang diri kamu?”

Uhuk. Sedikit geli, gue hanya bisa tersenyum.
Kenapa gue tidak bisa memberitahukan tentang diri gue pada orang lain, ya? Disamping alasan-alasan yang telah gue kemukakan di atas, mungkin kelak gue akan bisa meraih kepercayaan untuk menceritakan diri gue pada seseorang. Mungkin, jika ada seseorang—entah temen gue atau siapapun—yang cukup berani dan mampu menghancurkan dinding pertahanan gue, gue akan cukup berani bercerita. Let’s see. Ahaha ngomong apa sih gue? Sok banget ya gue ini hihihi.

In the end, satu hal yang bisa gue simpulkan dari postingan gue adalah, bahwa setiap orang punya masalah dan rasa sakitnya masing-masing. Karena seperti garis naik-turun pada mesin electro cardio graph alias alat pantau jantung yang menandakan hidupnya seorang pasien, hidup kita juga punya garis naik-turun yang menandakan bahwa kita memang hidup. Karena jika garisnya lurus, berarti kita mati.