Sabtu, 23 November 2013

EFFORTS & WILLPOWER

Orang-orang selalu berkata bahwa kegagalan adalah kemenangan yang tertunda.  Coba ingat hal atau kompetisi yang belum pernah kita menangkan sebelumnya tapi selalu kita ikuti. Kita sering dikalahkan, tapi, bahkan jika kita terus bangkit, orang lain lah yang terlihat lebih bersinar dan mendapat tropi. Meski kita terus bangkit, tak pernah ada hasilnya. Lalu kita mengerang, menyerah memberikan usaha pada tujuan kita tersebut. Dan saat itu juga, orang itu lagi lah yang mendapat tropi, bukan kita.
People always say that failures are delayed victories. Then, try to remember the things or competitions we were never racked up but we always give a try on it. We always went down, but, even if we lick the wound, other competitors always looks brighter and got the trophy. Even if we gave it a try properly, no results found. Then, we’re groaning, abandoned to put more efforts onto our aim. And at the same time, the same person bring the trophy home, not us.
Lalu kita berpikir, apa yang salah? Hanya ada satu jawaban. Bandingkan usaha yang kita berikan untuk mendapatkan apa yang kita mau dengan usaha si pemenang. Jika sama, lalu bandingkanlah tekad dan tujuan antara kita dan si pemenang. Kuat mana, tekad pemenang, atau tekad ‘pengerang’?
Then we think, which one is wrong? There’s only one answer. Compare our efforts we given to win it with the winner’s. If they are similar, then, compare our willpower with the winner’s. Which one is stronger, ours or theirs?
Yang dikalahkan oleh pemenang bukanlah ilmu. Yang dikalahkan oleh pemenang adalah usaha dan tekad! Mungkin, kegagalan adalah kemenangan yang tertunda. Tapi, gunung kegagalan bukanlah modal yang cukup untuk menang. Dan gunung tidak akan goyah dari tempatnya berdiri hanya dengan angin sepoi. Selalu tanyakan ini pada diri kita sendiri: “Mungkin, kita tidak memberikan usaha dan tekad yang lebih kuat untuk meruntuhkan gunung itu?”
Things that ever defeated by the winner is not knowledge. Things that ever defeated by the winner are efforts and willpower! Maybe, failures are delayed victories. But, the mountain of failures isn’t a great capital to win. And a mountain won’t loose from its place just with the smooth wind. Always ask this point to ourselves: “Maybe, we weren’t gave much stronger efforts and willpower to beat it down?”

Secangkir Kopi Mimpi

Kopi. Siapa yang tak mengenalnya? Minuman yang berasal dari biji pohon kopi ini sangat populer di masyarakat. Baik di Indonesia, maupun dunia. Bahkan kopi luwak Indonesia terkenal sebagai komoditi kopi terbaik di dunia.
Ah, sudahlah. Lupakan semua tesis dan argumentasi tentang minuman yang kini sedang ada di samping gue, menemani gue di tengah perenungan malam gue ini.
Gue menjadikan kopi sebagai analogi perenungan gue malam ini. Bukan tanpa alasan. Bcoz my mum is a coffee freak, so I write down a post about that.
Kebanyakan, orang-orang menjadikan kopi sebagai andalan pada saat mereka ingin begadang semalaman. Dan kebanyakan pula, kopi hanya dijadikan sebagai sajian wajib saat ritual begadang dilakukan. Tapi sekarang, sekotak kopi instan kemasan called Nescafe tidak hanya gue jadikan sebagai suguhan wajib malam minggu gue kali ini. Gue menjadikannya sebagai contemplation object, objek perenungan (ceile~).
Saat ini, mungkin kalian yang berkecukupan sedang bersantai di salah satu sudut rumah kalian, mengamati layar sambil sesekali mengetuk-ngetukkan jari di atas tuts keyboard. Dan pada saat yang sama,  insan-insan yang tinggal jauh di bawah kata cukup mungkin sedang tergesa-gesa di salah satu sudut jalan atau pertokoan, mengamati situasi sambil sesekali mengetuk-ngetukkan jari ke lubang kunci toko. Kontras sekali, bukan?
Mereka ini, beberapa diantara nya adalah remaja seusia gue. Remaja yang putus sekolah demi menyambung kehidupannya sendiri yang nyaris putus. Mereka, adalah remaja-remaja yang kurang beruntung untuk berusaha memperdebatkan mimpi-mimpi konyol tentang akan jadi apa mereka kelak, tentang apa yang akan mereka banggakan kelak, dan tentang kehidupan konyol macam apalagi yang akan mereka tinggali kelak.
Bagi sebagian diantara mereka, memiliki mimpi adalah suatu kesia-siaan. Hanya berharap dan menggantungkan asa bersamaan dengan angin yang berhembus hanya akan menerbangkan harapan ke tempat nun jauh disana, yang tak terjamah oleh sepuluh jari tangan yang dengan bangganya mengembangkan harapan itu sendiri menjadi lebih, lebih, dan lebih besar lagi.
Pemikiran ini gue simpulkan dari pengamatan kasar gue terhadap kehidupan remaja yang kurang beruntung untuk memeluk pendidikan. Mereka cukup cerdik untuk menahan setiap harapan yang terus para motivator taburkan pupuk padanya agar berkembang dengan memuaskan. Intinya, bagi mereka, memiliki mimpi ataupun tidak, sama saja.
Kalimat yang gue lontarkan di atas mungkin akan menimbulkan pendapat pro dan kontra. Biarlah. Gue gak menyalahkan seratus persen intisari pemikiran yang dianut oleh beberapa remaja sekitar gue. Karena, nyatanya, apa sih yang akan kita banggakan dengan mimpi-mimpi semu yang kita tegakkan begitu kokohnya? Toh, bermimpi saja tanpa realisasi tak akan merubah apapun, kan? Dan mimpi itu sendiri hanya berakhir dengan 3 kemungkinan: mimpi yang indah, buruk, atau yang kabur.
Pertama, mimpi yang indah. Mimpi indah seperti ini adalah mimpi yang berakhir memuaskan atau menguntungkan bagi si pemimpi. Sederhananya, mimpi yang terwujud. Tentu saja, terwujud dengan usaha. Para pemimpi yang mengalami mimpi indah ini memiliki 3 prinsip sederhana. Pertama, percaya diri. Kedua, kerja keras. Dan ketiga, keberuntungan. Eits, keberuntungan gak mudah untuk didapat lho, karena keberuntungan tidak dibentuk, melainkan diberikan sebagai hadiah atau malah ujian dari Sang Pencipta. Jangan remehkan keberuntungan, dan jangan remehkan kedua faktor yang lainnya pula. Berbeda dengan pemimpi yang mengalami mimpi buruk, pemimpi yang mengalami mimpi indah memberikan kepercayaan pada apa yang mereka dapatkan, bukan pada apa yang mereka harapkan.
Kedua, mimpi yang buruk. Mimpi buruk seperti ini adalah mimpi yang berakhir buruk, jauh dari harapan si pemimpi. Mayoritas, para pemimpi ini terlalu percaya diri akan kemampuan diri sendiri sehingga cenderung narsis tanpa memperhitungkan kerasionalan mimpi mereka sendiri. Jadi, saat ekspetasi mereka akan diri mereka sangat tinggi, kemungkinan mereka untuk jatuh secara cepat juga tinggi. Analoginya, saat mereka menuangkan air panas untuk membuat kopi, mereka cenderung tergesa-gesa, memberikan takaran yang berlebihan (dan menganggap apa yang ia lakukan tepat sasaran), lalu mengaduknya dengan sangat cepat, sehingga kopi tersebut tidak karuan rasanya, lalu air panasnya sendiri malah melukai tangannya. Pada akhirnya, kopi tersebut tidak akan pernah ia minum. Hasilnya? He won’t get anything. Neither the coffee nor his dreams.
Dan yang ketiga, adalah pemimpi yang mengalami kekaburan. Kekaburan yang dimaksud disini adalah bahwa mereka tidak mengalami mimpi yang indah, dan tidak juga mengalami mimpi yang buruk. Mereka adalah pemimpi yang  terlalu mengambil ancang-ancang, terlalu memperhitungkan untung-rugi, pemimpi yang takut melangkah, tetapi tetap melangkah dengan perlahan. Perlahan sekali sampai tujuan yang mereka kejar menjauh, kabur dan meninggalkan kekaburan.
So, what I’m trying to say is, boleh saja bermimpi. Tapi, jangan lupakan resiko. Sama halnya dengan komposisi secangkir kopi. Baik takaran gula, kopi, krimer, air, ataupun komponen lain harus tepat. Berikan kepercayaan pada komposisi yang telah kita kumpulkan dan miliki susah payah, lalu buatlah motivasi sederhana, seperti: ‘Aku hanya haus. Aku telah bersusah payah mengumpulkan komposisi, jadi saatnya aku mengumpulkan kemampuan ku membuat si kopi”, maka kopi itu akan terasa nikmat. Hindarilah untuk berharap terlalu jauh, dan tergesa-gesa dalam membuat kopi atau itu akan berakhir seperti apa yang di analogikan di atas. Terakhir, jangan terlalu memikirkan dan mengkalkulasikan setiap hal, sehingga kita takut sendiri untuk membuatnya. Nantinya, kita malah akan jadi makin haus dan iri pada pembuat kopi lain yang telah selesai menghabiskan kopi karena kita terlalu lama membuat kopi itu sendiri.
From the super-duper-long post I wrote above, I take a final conclusion, that is: It’s okay to be a dreamer. But don’t be irrasional. Believe at what you’ve get, then, enchance yourself with something new and mix it with your skill. Don’t believe at what you’ve expected only without give your best to make it true! Because sometimes, expectation just blow your mind high, and then dash you down. That’s all. (Trans: Dari pos yang super-duper-panjang yang telah gue tulis di atas, gue mengambil kesimpulan akhir, yaitu: Boleh saja menjadi pemimpi. Tapi jangan jadi irasional. Percaya pada apa yang kamu miliki, lalu, tingkatkan dirimu sendiri dengan sesuatu yang baru dan campurkan semua itu dengan kemampuanmu. Jangan percaya pada apa yang kamu harapkan tanpa memberikan yang terbaik untuk merealisasikannya! Karena kadang, harapan hanya akan menerbangkan pikiranmu tinggi-tinggi, dan lalu menghempaskan mu. Sekian).
Have a cup of tasty coffee soon, guys!

Bullying & Anti-Social



Hello again blog! Since it is the first time I write on here again, I wanna share all of my stories~

Menindaklanjuti (ceile) curcolan gue kemarin tentang anti-sosial, gue ingin menjelaskan siapa gue sebenarnya. Well, ini gak penting juga sih untuk dibaca orang lain, apalagi kalo ada teman dunia nyata yang melihat postingan ini. Tapi, ini blog gue. Suka-suka mau pos tentang apapun, got a problem with that?

Yah. Nama gue Utami. Lo bisa  manggil gue Shida Mirai, atau apapun atas seizin gue tentunya. Haha. Gue orang biasa. Gue adalah seorang siswa di salah satu SMA di Kabupaten Sumedang. Gue baru duduk di kelas 2 SMA.
Kehidupan gue? Biasa aja. Bangun tidur, berangkat sekolah, pulang sekolah, nonton dorama/baca buku, tidur, bangun lagi, sekolah lagi, dan begitu seterusnya. Gue memang terlihat seperti siswa yang introvert di sekolah. Walaupun kenyataannya memang iya, tapi gue gak seintrovert itu. Gue siswa yang relatif pendiam di sekolah, dan jarang untuk mengungkapkan cerita tentang kehidupan gue, entah itu pribadi atau yang lain. Entahlah, gue Cuma merasa bahwa kalaupun gue bercerita kepada mereka tentang hobi gue, kehidupan gue ataupun yang lainnya, gue sangat yakin bahwa mereka hanya akan mengacuhkan gue karena gak ngerti atau malah gak tertarik sama pembicaraan gue, yang didominasi oleh obrolan seputar Jepang, politik, dan hal-hal lain yang dianggap aneh bagi mereka -_-

Beda dengan masa-masa SMP gue, dimana gue bisa bergerak secara bebas meskipun dari luar ‘kelas’, banyak yang menganggap kelas gue adalah kelas yang berisi dengan siswa yang—ehem—beda. Dianggap sulit untuk mengungkapkan ‘kegilaan’. But they’re totally wrong. Justru di kelas SMP gue yang mereka anggap hanya sebuah ‘sangkar’, gue malah sangat bahagia. Gue bisa menyalurkan hobi gue; nonton J-dorama bareng teman-teman seperjuangan, baca manga/novel dengan teman-teman senasib, dan berdiskusi hal-hal lain yang mereka pahami arah tujuannya. Apapun itu, gue senang. Gue bisa berekspresi secara bebas di dalam sangkar yang dipandang aneh oleh kebanyakan orang. Karena di kelas SMP gue, CIA, teman-teman gue bisa menghargai apa yang gue bicarakan meskipun mereka tidak terlalu mengerti. Mereka akan selalu setia mendengarkan tanpa memotong pembicaraan, gak ada yang namanya golongan-golongan tertentu, seperti golongan kaya-miskin, golongan gaul-cupu, golongan kota ataupun desa. Gak ada gap antara orang yang satu dengan yang lainnya. Kita malah sering ngerumpi sekelas sama-sama, membuat lingkaran di depan atau belakang kelas untuk membicarakan kehidupan masing-masing, bermain shiritori atau game lainnya, tapi kita gak pernah membicarakan orang  lain terlalu jauh. Kita gak akan memandang remeh orang lain. Kita tidak membicarakan orang lain terlalu berlebihan, tapi malah membicarakan kehidupan kita masing-masing. Dan apapun itu bentuknya, mereka akan menghargai dan menanggapi celetukan ajaib dari masing-masing orang. Kita juga sering memberi masukkan dan saling terbuka tentang apa yang kita gak suka, misalnya gue gak suka sama tingkah si A yang begini-begini, dan si A akan mengerti. Begitu seterusnya, tanpa cercaan, tanpa cemoohan. Kritik yang membangun, bukan kritik yang merendahkan. Kita mendiskusikan semua, tidak memaksakan kehendak pribadi. Dan itu lah yang gak gue dapatkan di SMA.
Padahal, harusnya siswa SMA itu lebih dewasa dalam menanggapi semua hal. Itulah kenapa gue cenderung diam, memainkan hp untuk say hello bersama teman-teman komunitas gue (oh iya, gue gabung di komunitas yang sehobi dengan gue, One Piece Fans Club Indonesia—penggemar animanga One Piece, dan Community of Creative Detective Indonesia—tempat yang bisa dijadikan rumah kedua bagi gue dan rumah persinggahan di saat gue bosan dengan obrolan gak penting di dunia nyata). Sekalinya gue ikut andil dalam konversasi antara teman-teman gue di SMA, gue akan langsung bosan dan akhirnya pergi dari konversasi itu. Seriously, gak ada hal yang paling buang-buang waktu dari merendahkan orang lain. Oke, itu memang salah satu bentuk pengendalian sosial, tapi please, gak usah mendeskritkan orang lain.

Itulah kenapa dari mulai teman-teman kelas 1 di SMA gue sampai kakak kelas gue menganggap bahwa gue adalah orang yang serius, padahal sebenarnya gue gak pernah menanggapi sesuatu terlalu serius. Man, we are getting older everyday, but our mental are getting lower every second. Kita cuma membuang-buang waktu untuk mengurusi hobi orang lain. Seriously, apa ini menyenangkan untuk lo? Menyenangkan saat lo melihat orang lain tertawa atas penderitaan yang lainnya? Menyenangkan saat mendengarkan orang lain dihina sedemikian rupa di depan lo? Menyenangkan saat lo mempermainkan mereka dengan kata-kata yang menyakitkan? Menyenangkan saat lo mematikan orang lain atas perbuatannya? Menyenangkan saat orang lain tersungkur, dan lo malah menginjak dan menguburnya jauh di dasar sana? Menyenangkan saat lo harus berpura-pura menyenangi dan menghormati orang lain yang malah memandang lo dengan sebelah mata? Menyenangkan saat lo dituntut dan dipaksa mendengarkan hal yang gak pantas untuk lo dengar? Menyenangkan saat lo menggalang pasukan untuk mendapatkan keuntungan dari segala hal, meskipun itu salah? Menyenangkan saat mem-bully orang lain? Menyenangkan saat sebelah mata lo hanya tertuju pada hal yang gak pantas lo lihat? No! Apanya yang menyenangkan atas itu semua? Itu malah menunjukkan rendahnya sikap lo atas segala sesuatu. Mem-bully orang lain, huh? Cerita lama! Gue yakin bahwa orang yang suka mem-bully orang lain adalah korban keganasan sinetron. Well, kata-kata gue barusan juga termasuk mem-bully orang yang suka mem-bully. Tapi gue juga gak berharap dianggap sebagai pahlawan dengan membela orang yang di-bully. Dulu gue juga termasuk orang yang seperti itu di komunitas internet gue, tapi gak pernah terjadi di dunia nyata. Gue mulai melangkahkan kaki dari hal yang memang seharusnya gue tingglkan. Argh! Ini makin rumiiiiit.
Gue di SMA memang belum pernah di-bully, itu satu poin yang sangat gue syukuri. Tapi gue selalu merasa ih-lo-kira-lo-perfect saat melihat orang lain di-bully. They are just wasting their precious times! Bully lebih mengerikan dari korupsi. Say no to bullying!

Gue gak tau bagaimana kelak gue akan dipandang oleh mereka. As long as I keep my principes up, I’ll go through the crowd, put my life on the line to get what I should have. Dan sekali lagi, meskipun gue gak terlalu mengerti apa itu anti-sosial di kacamata para ahli dan psikolog, tapi gue akan mengatakan bahwa gue bukan orang yang ansos. Gue hanya punya prinsip, dan gue gak pernah berkeinginan untuk melanggarnya. Gue gak mau ikut serta dalam hal-hal yang bertentangan dengan prinsip gue, dan bullying adalah hal pertama yang akan gue tentang! Dan gue hanya akan mendengarkan hal yang tidak ada sangkut pautnya dengan merendahkan orang lain.

Gue sadar, gue sekarang mulai dijauhi oleh teman-teman sekelas bahkan se-sekolah karena gue dianggap freak. Ah apapun itu, yang namanya prinsip, ada untuk dipegang teguh, bukan untuk dilanggar. Gue telah membuat prinsip yang freak menurut orang lain, tapi gue, akan terus memegangnya. Apapun yang terjadi.

Yah pada akhirnya, gue tetap berbicara ngalor-ngidul di blog gue ini. It’s okay. Setidaknya, gue mulai lega setelah mempos blog ini. Walaupun agak-agak berlawanan gitu deh antara prolog dan epilognya. Hahaha. Yah, terserah gue dong mau ngomong apa juga. Ada yang tersindir? Gue malah merasa bahwa postingan ini menyindir gue sendiri lho. Menyindir gue yang dianggap ansos, dan mungkin mulai sekarang gue akan mencoba untuk lebih ‘terbuka’. Dan yah, tetep, terserah gue dong mau mempos apapun di blog gue, asalkan itu tidak melanggar hukum dan prinsip gue tentunya. Got a problem, dude? :p

Jumat, 31 Mei 2013

Satu Hal Luar Biasa Bernama: Kedewasaan

Hari ini, gue mendapatkan pengalaman yang luar biasa.
Pengalaman yang membuat gue ingin sekali berubah. Lebih nyata. Lebih serius.

Tadi pagi, gue baru aja menyakiti hati seorang ibu yang seharusnya gue hormati. Bukan hanya gue sih, tapi banyak juga yang lainnya. Tapi gue merasa sangat sangat bersalah, dan gue ingin bertanggung jawab atas itu. Dan tadi pagi, gue melihat bulir airmata jatuh dari kelopak seorang ibu. Hati gue miris. Tercabik.

Gue telah mengucapkan kata-kata yang kurang pantas bagi beliau--gue sadar itu--meskipun saat beliau sudah benar-benar pergi dari hadapan gue. Teman-teman gue yang lain sebelumnya memang mengeluh, bad-mouthing at her. Tapi itu hanya celotehan kesal. Hei, kita juga manusia. Dan untungnya, gue sempat meminta maaf atas kelakukan gue dan teman-teman tadi siang. And the problem's solved.

Peristiwa itu memang terlihat biasa saja, sih. Tapi atas peristiwa itu, gue semakin berpikir, gue semakin tersadar. Gue gak seharusnya bersikap seperti itu. Gue harusnya bisa menjadi orang yang lebih dewasa. Gak ada gunanya gue masuk di sekolah menengah atas dengan predikat baik jika gue gak bisa membuat aksi nyata, perpindahan masa dari remaja menuju dewasa. Gue ini orang yang terlalu santai. Gue egois. Sangat egois. Gue hanya mementingkan perasaan gue sendiri. Gue orang yang sombong, sombong untuk sekedar mengakui bahwa gue rendah. I'm nothing. I'm useless. Padahal gue memang gak pernah melakukan aksi nyata untuk merubah label itu.

There's no point of getting older if we can't grown. Kita makin hari makin tua. Waktu yang kita punya di dunia ini makin tipis. Apa yang telah kita perbuat untuk mengisi hari-hari kosong itu? Apa? Hanya itu? Apa spesialnya? Semua orang juga melakukan itu. Terus apa?

Kita makin hari makin tua, tapi mental kita masih jauh tertinggal di sebrang sana, tidak ikut terangkut saat kita menyebrangi sungai yang panjang dan dalam ini. Kita hanya punya modal nekat untuk menerjang arus itu dengan tubuh kita sendiri. Tidak ada satu pun kayak yang kita buat untuk menyebrang ke sana. Kita hanya bermimpi untuk menggapai ujung jalan itu, mencapai hulu sungai. Tapi, kaki saja tidak cukup kuat untuk melangkahkan kaki menerjang arus dengan berbagai penghuninya. Kaki itu rapuh, bisa patah. Keberuntungan saja tidak cukup. Berharap saja tidak cukup. Bermimpi saja tidak cukup. Kita harus punya hal yang dapat membawa kita kesana, dan kita tidak akan pernah bisa dianggap sukses mencapai hulu itu jika tidak ada orang lain yang melihat kita, kan?

Gue ingin berubah. Mempersiapkan, merencanakan, dan me-nyata-kan mimpi gue. Jika gue begini terus, gue gak akan pernah sampai ke hulu. Gak akan. Tapi, gue juga membutuhkan orang lain untuk membantu gue. Karena gue terlalu lemah untuk menerjangnya sendiri.

Tujuan gue berikutnya bukanlah hulu sungai. Tapi satu hal bernama kedewasaan.

Minggu, 19 Mei 2013

SATURDAY NIGHT


Saturday Night, 18 Mei 2013

Saturday Night is coooomiing~ Talking ‘bout satnight, where will you go with your boyfriend/girlfriend or with others?

As usual, gue gak terlalu excited sama yang namanya satnight or malming or apalah. Gak seperti orang-orang jones (jomblo ngenes) yang menggalaui satnight dengan kenangan mereka bersama mantan atau malah orang yang meng-php-kan mereka. Hmm, they are just wasting their times. Satu-satunya yang bikin gue excited adalah karena besoknya itu hari Minggu, so, gue bisa begadang semalaman untuk melakukan hal yang gue inginkan.

Dan malming ini terasa mengasyikkan untuk gue karena gue bisa nonton Japan Dorama (J-dorama) all night loooong~ Dan dorama yang sedang gue tonton sekarang adalah Seigi no Mikata (Ally of Justice), dorama bergenre comedy yang cukup bikin gue histeris karena pemain-pemainnya; Kanata Hongo (he’s the best!), Mukai Osamu (my future husband, lol), Shida Mirai (kembaran gue lol), Yamada Yu (best violence ever lol), Irie Jingi (well, di dorama ini dia dibuat sebagai orang cupu -_-), dan lain-lain.

Walaupun dorama ini menceritakan tentang hubungan adik kakak antara Yamada Yu dan Shida Mirai, tapi yang bikin gue speechless dan menyita banyak perhatian gue adalah scene antara Kanata Hongo dan Shida Mirai. Uuuh they are such a perfect couple! Gue selalu dibikin iri dan berakhir dengan luka-luka di bantal gue karena sepanjang scene antara mereka berdua, bantal selalu jadi korban gigitan gue haha. Apalagi pas Kanata Hongo dan Shida Mirai pegangan tangan saat hujan dan mengungkapkan perasaan mereka masing-masing di stasiun kereta api. I can’t stop screamiiing! Iri!!! And you know what? Sepanjang scene mereka dan khususnya scene Kanata Hongo, gue selalu sibuk meng-snapshot scene itu, dan akhirnya gue gak fokus sama ceritanya. Gak mungkin bisa, Hongo is a kawaii, kirei, kakkoi person in this dorama. Sorry, Mukai Osamu-kun, untuk kali ini, aku harus berpaling darimuuuu~ (oke, ini lebay). Ini dorama recommended deh meski ratingnya hanya 10% di Jepang sana. Tapi, Shida Mirai dan Yamada Yu sukses dapet penghargaan lewat dorama ini lho. Sugoi~

Well, Malam Minggu kemarin udah sukses bikin perasaan gue campur aduk. Entahlah, gue juga gak ngerti. Iya, gue emang iri banget dan guling-guling di kasur (bohong) akibat scene Kanata Hongo yang sweet, tapi gue juga memikirkan hal lain yang bikin perasaan gue gak enak. Susah untuk dijelaskan, pokonya perasaan gue sangat sangat gak enak, meskipun pada akhirnya gue seneng setelah tamat nonton Seigi no Mikata jam 10 malam. Tapi setelah nonton, perasaan gue kembali gak enak. Eh taunya ada ‘tamu’ yang datang ke kediaman gue. Memang, ada saudara gue yang sekarang tinggal di sebelah rumah gue dan membawa 2 anaknya yang masih kecil, dan ternyata ada yang ingin kenal dengan penghuni baru itu. Hiiii.

Akhirnya, setelah mematikan netbook, gue merebahkan diri di kasur tercintaah dengan ditemani alunan musik dari playlist hp gue. Gue juga sempet baca novelnya Ilana Tan berjudul Summer in Seoul. Tapi gak sampai tamat. Ngantuk -_-

Yah begitulah kisah malming gue yang sama sekali gak guna untuk dishare. Gak ada yang menarik memang. Tapi ya, daripada gue menghabiskan waktu malming yang berharga gue oleh serangkaian kegiatan bersama orang lain yang sering mereka sebut dengan istilah ‘pacar’, gue lebih memilih untuk menggadaikan waktu malming gue yang berharga kemarin kepada dorama, novel, musik dan blogging. Well, itu gak bisa disebut berguna juga sih jika dibandingkan dengan orang-orang kelewat pinter yang belajar untuk ujian kenaikan kelas bulan depan. Gue malah lupa kalo bulan depan ada UKK. Serius. Well, gue yakin benar kalo orang-orang mengira bahwa gue adalah tipe orang yang selalu baca buku untuk belajar setiap hari, tapi nyatanya, gue bukan tipe orang yang bisa dibilang me-rajin-kan diri untuk dianggap cerdas dan pintar oleh orang lain. Gue adalah gue. Dengan segala keterbatasan dan kelebihan yang mungkin gue punya.

Gue memegang prinspip bahwa hidup bukan hanya tentang ‘seberapa keren-nya lo di mata orang lain’, tapi ‘seberapa keren-nya lo untuk memahami diri lo sendiri’. Lo gak perlu jadi orang lain, karena lo terlahir dengan nama lo sendiri. Lo terlahir dengan takdir lo sendiri. Nama lo bukan dia, kelebihan lo bukan itu, dan kesenangan lo gak selalu bergantung dengan orang lain. You are just what you are.

Yah, inilah pos malming gue yang ngalor-ngidul kesana kemari mencari alamat. Dimulai dari kisah tentang drama dan kisah yang gak penting di akhir pos. Apapun itu, thanks untuk yang telah meluangkan waktu membaca blog gue. Arigatou gozaimasu! Jaa ne!