Kopi. Siapa yang tak mengenalnya? Minuman yang
berasal dari biji pohon kopi ini sangat populer di masyarakat. Baik di
Indonesia, maupun dunia. Bahkan kopi luwak Indonesia terkenal sebagai komoditi
kopi terbaik di dunia.
Ah, sudahlah. Lupakan semua tesis dan argumentasi
tentang minuman yang kini sedang ada di samping gue, menemani gue di tengah
perenungan malam gue ini.
Gue menjadikan kopi sebagai analogi perenungan gue
malam ini. Bukan tanpa alasan. Bcoz my
mum is a coffee freak, so I write down a post about that.
Kebanyakan, orang-orang menjadikan kopi sebagai
andalan pada saat mereka ingin begadang semalaman. Dan kebanyakan pula, kopi
hanya dijadikan sebagai sajian wajib saat ritual begadang dilakukan. Tapi sekarang,
sekotak kopi instan kemasan called Nescafe
tidak hanya gue jadikan sebagai suguhan wajib malam minggu gue kali ini. Gue menjadikannya
sebagai contemplation object, objek perenungan (ceile~).
Saat ini, mungkin kalian yang berkecukupan sedang
bersantai di salah satu sudut rumah kalian, mengamati layar sambil sesekali
mengetuk-ngetukkan jari di atas tuts keyboard. Dan pada saat yang sama, insan-insan yang tinggal jauh di bawah kata
cukup mungkin sedang tergesa-gesa di salah satu sudut jalan atau pertokoan,
mengamati situasi sambil sesekali mengetuk-ngetukkan jari ke lubang kunci toko.
Kontras sekali, bukan?
Mereka ini, beberapa diantara nya adalah remaja
seusia gue. Remaja yang putus sekolah demi menyambung kehidupannya sendiri yang
nyaris putus. Mereka, adalah remaja-remaja yang kurang beruntung untuk berusaha
memperdebatkan mimpi-mimpi konyol tentang akan jadi apa mereka kelak, tentang
apa yang akan mereka banggakan kelak, dan tentang kehidupan konyol macam
apalagi yang akan mereka tinggali kelak.
Bagi sebagian diantara mereka, memiliki mimpi adalah
suatu kesia-siaan. Hanya berharap dan menggantungkan asa bersamaan dengan angin
yang berhembus hanya akan menerbangkan harapan ke tempat nun jauh disana, yang
tak terjamah oleh sepuluh jari tangan yang dengan bangganya mengembangkan
harapan itu sendiri menjadi lebih, lebih, dan lebih besar lagi.
Pemikiran ini gue simpulkan dari pengamatan kasar
gue terhadap kehidupan remaja yang kurang beruntung untuk memeluk pendidikan. Mereka
cukup cerdik untuk menahan setiap harapan yang terus para motivator taburkan
pupuk padanya agar berkembang dengan memuaskan. Intinya, bagi mereka, memiliki
mimpi ataupun tidak, sama saja.
Kalimat yang gue lontarkan di atas mungkin akan menimbulkan
pendapat pro dan kontra. Biarlah. Gue gak menyalahkan seratus persen intisari
pemikiran yang dianut oleh beberapa remaja sekitar gue. Karena, nyatanya, apa
sih yang akan kita banggakan dengan mimpi-mimpi semu yang kita tegakkan begitu
kokohnya? Toh, bermimpi saja tanpa realisasi tak akan merubah apapun, kan? Dan mimpi
itu sendiri hanya berakhir dengan 3 kemungkinan: mimpi yang indah, buruk, atau
yang kabur.
Pertama, mimpi yang indah. Mimpi indah seperti ini
adalah mimpi yang berakhir memuaskan atau menguntungkan bagi si pemimpi. Sederhananya,
mimpi yang terwujud. Tentu saja, terwujud dengan usaha. Para pemimpi yang
mengalami mimpi indah ini memiliki 3 prinsip sederhana. Pertama, percaya diri. Kedua,
kerja keras. Dan ketiga, keberuntungan. Eits, keberuntungan gak mudah untuk
didapat lho, karena keberuntungan tidak
dibentuk, melainkan diberikan sebagai hadiah atau malah ujian dari Sang
Pencipta. Jangan remehkan keberuntungan, dan jangan remehkan kedua faktor
yang lainnya pula. Berbeda dengan pemimpi
yang mengalami mimpi buruk, pemimpi yang mengalami mimpi indah memberikan
kepercayaan pada apa yang mereka dapatkan, bukan pada apa yang mereka harapkan.
Kedua, mimpi yang buruk. Mimpi buruk seperti ini
adalah mimpi yang berakhir buruk, jauh dari harapan si pemimpi. Mayoritas, para
pemimpi ini terlalu percaya diri akan kemampuan diri sendiri sehingga cenderung
narsis tanpa memperhitungkan kerasionalan mimpi mereka sendiri. Jadi, saat
ekspetasi mereka akan diri mereka sangat tinggi, kemungkinan mereka untuk jatuh
secara cepat juga tinggi. Analoginya, saat mereka menuangkan air panas untuk
membuat kopi, mereka cenderung tergesa-gesa, memberikan takaran yang berlebihan
(dan menganggap apa yang ia lakukan tepat sasaran), lalu mengaduknya dengan
sangat cepat, sehingga kopi tersebut tidak karuan rasanya, lalu air panasnya
sendiri malah melukai tangannya. Pada akhirnya, kopi tersebut tidak akan pernah
ia minum. Hasilnya? He won’t get
anything. Neither the coffee nor his dreams.
Dan yang ketiga, adalah pemimpi yang mengalami
kekaburan. Kekaburan yang dimaksud disini adalah bahwa mereka tidak mengalami
mimpi yang indah, dan tidak juga mengalami mimpi yang buruk. Mereka adalah
pemimpi yang terlalu mengambil
ancang-ancang, terlalu memperhitungkan untung-rugi, pemimpi yang takut
melangkah, tetapi tetap melangkah dengan perlahan. Perlahan sekali sampai
tujuan yang mereka kejar menjauh, kabur dan meninggalkan kekaburan.
So, what I’m
trying to say is, boleh saja bermimpi. Tapi, jangan lupakan resiko. Sama halnya
dengan komposisi secangkir kopi. Baik takaran gula, kopi, krimer, air, ataupun
komponen lain harus tepat. Berikan kepercayaan pada komposisi yang telah kita
kumpulkan dan miliki susah payah, lalu buatlah motivasi sederhana, seperti: ‘Aku
hanya haus. Aku telah bersusah payah mengumpulkan komposisi, jadi saatnya aku
mengumpulkan kemampuan ku membuat si kopi”, maka kopi itu akan terasa nikmat. Hindarilah
untuk berharap terlalu jauh, dan tergesa-gesa dalam membuat kopi atau itu akan
berakhir seperti apa yang di analogikan di atas. Terakhir, jangan terlalu
memikirkan dan mengkalkulasikan setiap hal, sehingga kita takut sendiri untuk
membuatnya. Nantinya, kita malah akan jadi makin haus dan iri pada pembuat kopi
lain yang telah selesai menghabiskan kopi karena kita terlalu lama membuat kopi
itu sendiri.
From the
super-duper-long post I wrote above, I take a final conclusion, that is: It’s
okay to be a dreamer. But don’t be irrasional. Believe at what you’ve get, then,
enchance yourself with something new and mix it with your skill. Don’t believe
at what you’ve expected only without give your best to make it true! Because sometimes,
expectation just blow your mind high, and then dash you down. That’s all. (Trans: Dari pos yang super-duper-panjang yang telah
gue tulis di atas, gue mengambil kesimpulan akhir, yaitu: Boleh saja menjadi
pemimpi. Tapi jangan jadi irasional. Percaya pada apa yang kamu miliki, lalu, tingkatkan
dirimu sendiri dengan sesuatu yang baru dan campurkan semua itu dengan
kemampuanmu. Jangan percaya pada apa yang kamu harapkan tanpa memberikan yang terbaik
untuk merealisasikannya! Karena kadang, harapan hanya akan menerbangkan
pikiranmu tinggi-tinggi, dan lalu menghempaskan mu. Sekian).
Have a cup of
tasty coffee soon, guys!