Sabtu, 23 November 2013

Secangkir Kopi Mimpi

Kopi. Siapa yang tak mengenalnya? Minuman yang berasal dari biji pohon kopi ini sangat populer di masyarakat. Baik di Indonesia, maupun dunia. Bahkan kopi luwak Indonesia terkenal sebagai komoditi kopi terbaik di dunia.
Ah, sudahlah. Lupakan semua tesis dan argumentasi tentang minuman yang kini sedang ada di samping gue, menemani gue di tengah perenungan malam gue ini.
Gue menjadikan kopi sebagai analogi perenungan gue malam ini. Bukan tanpa alasan. Bcoz my mum is a coffee freak, so I write down a post about that.
Kebanyakan, orang-orang menjadikan kopi sebagai andalan pada saat mereka ingin begadang semalaman. Dan kebanyakan pula, kopi hanya dijadikan sebagai sajian wajib saat ritual begadang dilakukan. Tapi sekarang, sekotak kopi instan kemasan called Nescafe tidak hanya gue jadikan sebagai suguhan wajib malam minggu gue kali ini. Gue menjadikannya sebagai contemplation object, objek perenungan (ceile~).
Saat ini, mungkin kalian yang berkecukupan sedang bersantai di salah satu sudut rumah kalian, mengamati layar sambil sesekali mengetuk-ngetukkan jari di atas tuts keyboard. Dan pada saat yang sama,  insan-insan yang tinggal jauh di bawah kata cukup mungkin sedang tergesa-gesa di salah satu sudut jalan atau pertokoan, mengamati situasi sambil sesekali mengetuk-ngetukkan jari ke lubang kunci toko. Kontras sekali, bukan?
Mereka ini, beberapa diantara nya adalah remaja seusia gue. Remaja yang putus sekolah demi menyambung kehidupannya sendiri yang nyaris putus. Mereka, adalah remaja-remaja yang kurang beruntung untuk berusaha memperdebatkan mimpi-mimpi konyol tentang akan jadi apa mereka kelak, tentang apa yang akan mereka banggakan kelak, dan tentang kehidupan konyol macam apalagi yang akan mereka tinggali kelak.
Bagi sebagian diantara mereka, memiliki mimpi adalah suatu kesia-siaan. Hanya berharap dan menggantungkan asa bersamaan dengan angin yang berhembus hanya akan menerbangkan harapan ke tempat nun jauh disana, yang tak terjamah oleh sepuluh jari tangan yang dengan bangganya mengembangkan harapan itu sendiri menjadi lebih, lebih, dan lebih besar lagi.
Pemikiran ini gue simpulkan dari pengamatan kasar gue terhadap kehidupan remaja yang kurang beruntung untuk memeluk pendidikan. Mereka cukup cerdik untuk menahan setiap harapan yang terus para motivator taburkan pupuk padanya agar berkembang dengan memuaskan. Intinya, bagi mereka, memiliki mimpi ataupun tidak, sama saja.
Kalimat yang gue lontarkan di atas mungkin akan menimbulkan pendapat pro dan kontra. Biarlah. Gue gak menyalahkan seratus persen intisari pemikiran yang dianut oleh beberapa remaja sekitar gue. Karena, nyatanya, apa sih yang akan kita banggakan dengan mimpi-mimpi semu yang kita tegakkan begitu kokohnya? Toh, bermimpi saja tanpa realisasi tak akan merubah apapun, kan? Dan mimpi itu sendiri hanya berakhir dengan 3 kemungkinan: mimpi yang indah, buruk, atau yang kabur.
Pertama, mimpi yang indah. Mimpi indah seperti ini adalah mimpi yang berakhir memuaskan atau menguntungkan bagi si pemimpi. Sederhananya, mimpi yang terwujud. Tentu saja, terwujud dengan usaha. Para pemimpi yang mengalami mimpi indah ini memiliki 3 prinsip sederhana. Pertama, percaya diri. Kedua, kerja keras. Dan ketiga, keberuntungan. Eits, keberuntungan gak mudah untuk didapat lho, karena keberuntungan tidak dibentuk, melainkan diberikan sebagai hadiah atau malah ujian dari Sang Pencipta. Jangan remehkan keberuntungan, dan jangan remehkan kedua faktor yang lainnya pula. Berbeda dengan pemimpi yang mengalami mimpi buruk, pemimpi yang mengalami mimpi indah memberikan kepercayaan pada apa yang mereka dapatkan, bukan pada apa yang mereka harapkan.
Kedua, mimpi yang buruk. Mimpi buruk seperti ini adalah mimpi yang berakhir buruk, jauh dari harapan si pemimpi. Mayoritas, para pemimpi ini terlalu percaya diri akan kemampuan diri sendiri sehingga cenderung narsis tanpa memperhitungkan kerasionalan mimpi mereka sendiri. Jadi, saat ekspetasi mereka akan diri mereka sangat tinggi, kemungkinan mereka untuk jatuh secara cepat juga tinggi. Analoginya, saat mereka menuangkan air panas untuk membuat kopi, mereka cenderung tergesa-gesa, memberikan takaran yang berlebihan (dan menganggap apa yang ia lakukan tepat sasaran), lalu mengaduknya dengan sangat cepat, sehingga kopi tersebut tidak karuan rasanya, lalu air panasnya sendiri malah melukai tangannya. Pada akhirnya, kopi tersebut tidak akan pernah ia minum. Hasilnya? He won’t get anything. Neither the coffee nor his dreams.
Dan yang ketiga, adalah pemimpi yang mengalami kekaburan. Kekaburan yang dimaksud disini adalah bahwa mereka tidak mengalami mimpi yang indah, dan tidak juga mengalami mimpi yang buruk. Mereka adalah pemimpi yang  terlalu mengambil ancang-ancang, terlalu memperhitungkan untung-rugi, pemimpi yang takut melangkah, tetapi tetap melangkah dengan perlahan. Perlahan sekali sampai tujuan yang mereka kejar menjauh, kabur dan meninggalkan kekaburan.
So, what I’m trying to say is, boleh saja bermimpi. Tapi, jangan lupakan resiko. Sama halnya dengan komposisi secangkir kopi. Baik takaran gula, kopi, krimer, air, ataupun komponen lain harus tepat. Berikan kepercayaan pada komposisi yang telah kita kumpulkan dan miliki susah payah, lalu buatlah motivasi sederhana, seperti: ‘Aku hanya haus. Aku telah bersusah payah mengumpulkan komposisi, jadi saatnya aku mengumpulkan kemampuan ku membuat si kopi”, maka kopi itu akan terasa nikmat. Hindarilah untuk berharap terlalu jauh, dan tergesa-gesa dalam membuat kopi atau itu akan berakhir seperti apa yang di analogikan di atas. Terakhir, jangan terlalu memikirkan dan mengkalkulasikan setiap hal, sehingga kita takut sendiri untuk membuatnya. Nantinya, kita malah akan jadi makin haus dan iri pada pembuat kopi lain yang telah selesai menghabiskan kopi karena kita terlalu lama membuat kopi itu sendiri.
From the super-duper-long post I wrote above, I take a final conclusion, that is: It’s okay to be a dreamer. But don’t be irrasional. Believe at what you’ve get, then, enchance yourself with something new and mix it with your skill. Don’t believe at what you’ve expected only without give your best to make it true! Because sometimes, expectation just blow your mind high, and then dash you down. That’s all. (Trans: Dari pos yang super-duper-panjang yang telah gue tulis di atas, gue mengambil kesimpulan akhir, yaitu: Boleh saja menjadi pemimpi. Tapi jangan jadi irasional. Percaya pada apa yang kamu miliki, lalu, tingkatkan dirimu sendiri dengan sesuatu yang baru dan campurkan semua itu dengan kemampuanmu. Jangan percaya pada apa yang kamu harapkan tanpa memberikan yang terbaik untuk merealisasikannya! Karena kadang, harapan hanya akan menerbangkan pikiranmu tinggi-tinggi, dan lalu menghempaskan mu. Sekian).
Have a cup of tasty coffee soon, guys!

3 komentar:

  1. saya punya sebuah quote--tapi saya lupa dari mana--
    saya adalah pemimpi, tapi saya bermimpi ketika mata saya terbuka.

    you know what i mean?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Got it. Terimakasih atas quotenya. Terimakasih sudah mampir juga hehe

      Hapus
  2. Got it. Terimakasih atas quote nya. Terimakasih telah mampir juga hehe

    BalasHapus