Minggu, 23 Maret 2014

BEST PALS

Gue bukanlah orang yang menawan.

Gue gak cantik. Bukan orang kulit putih. Bukan berasal dari keluarga yang teramat kaya. Gak tinggi. Gak terlalu cerdas. Gak pandai mengakrabkan diri dengan orang lain. Bukan anak gaul. Hm, what else? Yah, pada intinya, gue gak bisa disebut orang yang menawan. Gak se-shalihah Khadijah atau Siti Aisyah.

Tapi anehnya, masih aja ada orang yang mau berteman dengan gue. Masih aja ada yang mau bersahabat dengan gue. Bahkan dengan seluruh kekurangan gue yang gak bisa disebut satu-satu, dan dengan minimnya kelebihan gue, gue masih mempunyai tempat diantara mereka. It's been an honour..

Then, gue sampai pada suatu kesimpulan bahwa sahabat sejati (whatever you called this) adalah orang-orang yang buta. Karena mereka gak melihat kita. Mereka 'me-rasa-kan' kita. Mereka ada untuk kita tanpa sebab. Mereka tidak pernah menggunakan kata 'karena' untuk ada di dekat kita, tapi senantiasa menggunakan kata 'walaupun' untuk ada di dekat kita. If you know what I mean.

If you don't get this, lemme explain. Jadi, sahabat sejati itu gak pernah bilang: "gue ada di dekat dia karena dia memahami gue" atau "gue dekat sia karena gue butuh dia", tapi mereka akan senantiasa bilang: "walaupun kata orang dia gak baik, gue akan selalu ada buat dia" atau "hell! Gue akan ada di dekat dia walaupun tanpa sebab".

Best pals are there for no reason. Sahabat sejati ada tanpa alasan.

Setelah sekian lama, gue baru sadar arti penting dari sahabat. Well, gue seringkali berpikir bahwa kata sahabat sejati terlalu lebay untuk diproklamirkan di depan umum, terkecuali jika kita mau ditertawakan karena terlalu sering menonton sinetron. Tapi yah, sahabat sahabat itu jadi penentu mutlak kebahagiaa kita. Dimanapun, kapanpun.

I'll say that if you never got a best pal, you gotta find one.

Sahabat paham tanpa kecam. Sahabat mengerti tanpa permisi. Yah pada akhirnya, gue pun mengakui kehebatan teman-teman yang menjadi sahabat orang-orang. Kita gak perlu jadi ranking satu atau jadi ilmuwan hebat buat mengakui itu. Butuh psikolog? Sahabat datang tanpa perlu mengeluarkan uang. Butuh guru? Sahabat menjelaskan tanpa pemaksaan. Butuh kebahagiaan? Make one with them is the easiest one.

Persahabatan itu gak harus selalu bisa dilihat. Bahkan, gue punya beberapa sahabat di dunia maya. Jujur, gue sangat kagum pada orang-orang yang bersahabat di dunia maya. Meskipun mereka gak pernah ketemu satu sama lain, mereka tetep percaya satu sama lain, tetep menempatkan diri sebagai sahabat. Hebat. Persahabatan dumay itu beberapa tahun ini gue temukan lewat beberapa komunitas, kaya Community of Creative Detective Indonesia (it's the best!), One Piece Fans Club Indonesia, atau komunitas lain. Mereka bisa saling menguatkan satu sama lain, saling ketawa (gak jarang saling menertawakan haha), mendukung satu sama lain, meskipun gak tau wajah asli orangnya. Hebat gak?

Jadi, jangan sia-siakan hidup kita cuma untuk sendirian. Untuk apa ada milyaran manusia di bumi ini, jika kita gak percaya dengan minimal salah satunya?

Luckily, I found soooo many best pals in my life. Mereka percaya tanpa cela, mendukung tanpa jeda. Jadi, adalah suatu kewajaran jika gue gak mau menjadi hambatan bagi sahabat-sahabat gue. Lebih dari itu, gue ingin menjadi orang yang layak diberi julukan sahabat. Gue mungkin gak punya hal-hal yang patut dibanggakan, atau pakaian mewah yang bisa dipamerkan, atau kecerdasan luar bisa yang bisa dielu-elukan. Tapi gue yakin, seseorang dengan hati yang baik akan selalu layak diperhitungkan. Sekalipun gue yang gak menawan. Iya, kan?

Jadi, ajarkan gue untuk selalu memiliki hati yang cantik. Gak peduli meski gak ada yang menyadarinya barang setitik.

Yah, seperti biasa, postingan gue ngalor ngidul dari awal ke akhir. Haha. Yah, semoga bermanfaat minimal sekata dua kata. Yah, selamat mencari dan membanggakan sahabat kita!! ^^

Rabu, 05 Maret 2014

KACAMATA KUDA



Halalkah gue untuk bercerita?

Entah ya. Gue selalu gak bisa curhat ke orang lain. Bahkan ke sahabat gue sekalipun. Consequently, they called me an anti-social girl. Gadis yang tertutup. Gadis jutek. Gadis yang gak peduli sama keadaan sekitar.

Tapi, serius. Bukan gitu. Bukannya gue gak percaya sama orang lain. Well, gue emang agak susah menunjukkan kepercayaan gue sama orang lain. At least I try. Gue gak pernah atau jarang curhat mengenai masalah pribadi karena gue gak mau membebani orang-orang di sekeliling gue. Mereka sendiri punya masalah yang mesti diselesaikan. Mungkin aja mereka punya lebih banyak masalah atau bahkan yang lebih besar. Jadi, teman-teman, bukannya gue gak percaya atau pendiam. Cuma...

Jujur, gue lebih senang ada orang lain yang curhat ke gue ketimbang gue yang curhat ke mereka. Well, gue pernah curhat beberapa kali tentang kehidupan pribadi gue. Beberapa kali. Gak sering. Gak seperti orang lain yang mudah curhat tentang masalah di keluarga mereka, gue memilih untuk bungkam setiap ada yang bertanya masalah gue di rumah. Daripada jadi aib, menurut gue. Jadi, mereka gak tau kehidupan gue seperti apa. Yah, gue harap nggak, ya.

Jujur lagi, nih. Gue mulai jengah saat ada orang lain yang mengomentari hidup gue tanpa tau bagaimana kehidupan gue. Jujur, gue benci saat ada orang lain yang mengatakan hidupnya sial atau apalah. Jujur, gue gak pernah suka sama orang yang menunjukkan bahwa dia begitu menderita dengan hidupnya. Jujur, gue selalu dongkol saat ada orang lain yang berkata bahwa situasi keluarga mereka lebih buruk dari siapapun. Percaya, kalian belum menerawang hidup lebih jauh. Jujur, gue gak suka sama orang-orang yang berkata bahwa hidup mereka sulit, padahal mereka gak pernah mengetahui sebetapa sulitnya situasi di keluarga orang lain.

Oh, please! Tau apa sih kalian tentang situasi keluarga orang lain? Kalo nggak tau, jangan bilang bahwa situasi keluarga lo lebih buruk. Jangan.

Gue gak bilang bahwa situasi keluarga gue jauh lebih buruk. Alhamdulillah, keluarga gue tercukupi oleh Allah. Tapi, gue pernah liat situasi keluarga yang ada di sekeliling gue. Ada yang broken home, ada yang yatim, ada yang piatu, ada yang yatim-piatu, ada yang hidup di bawah garis kemiskinan, ada yang anggota keluarganya gak mengenyam bangku pendidikan, ada yang tinggal berjauhan dengan orang tuanya, bahkan ada yang gak kenal orang tua mereka. Jadi, teman, satu atau dua pertengkaran di rumah kalian, biarlah. Jangan membuat kalian menilai bahwa keluarga kalian buruk. Merasa berkecukupan lah, maka Allah akan mencukupkan kita. There are  reasons why Allah placed you there...

Yah, gimana pun, gue benci kacamata kuda.

BOOK-A-HOLIC

Gue adalah seorang book-a-holic.

Lazimnya, orang-orang akan menyebut gue sebagai kutu buku. Tapi tenang aja, gue bukan seorang aneh yang di matanya bertengger kacamata super tebel yang bisa aja membuat Cerberus, anjing penjaga neraka mengalami kebutaan.

Gue bisa menghabiskan novel setebal 600 halaman hanya dalam sehari. Gue bisa membaca genre buku apa aja, kecuali yang berbau gore. Sebenernya buku pelajaran juga sebuah pengecualian. Tapi, karena hidup gue sebagai siswa bertumpu pada buku-buku itu, maka gue bisa mentolerir buku pelajaran—agar bisa gue baca. Minimal sekata lah.

Setiap minggu, gue hampir selalu menghabiskan separuh waktu luang gue dengan baca buku. Bukan maksud sombong nih. Tapi, entah kenapa, saat gue baca buku, seluruh pikiran gue akan begitu terfokus pada setiap lariknya. Jadi, setiap gue selesai melahap satu buku, ide-ide gila gue selalu merayu gue untuk menulis hal yang sama, bergenre sama seperti buku yang telah gue baca. Dan tara! Ratusan megabyte memori laptop telah gue habiskan untuk menyimpan ide-ide novel/cerpen/buku, berbagai macam cerita yang menggantung tak tau tangga buat turun, dan sebagian kecil cerpen gue yang sudah rampung, menjadi koleksi berdebu dalam laptop gue.

Hmm, kenapa gue bisa menjadi seorang book-a-holic? Well, gue gak tau pasti. Rasanya tuh, saat gue baca buku, gue dapat semacam passion (apapun lah itu namanya). Tapi, ada satu hal pasti yang selalu gue inget. Itu adalah saat almarhum bapak gue perlahan mencipratkan sebagian dari dirinya (yep, book-a-holic itu sendiri) ke dalam diri gue. Semenjak gue TK, gue udah sangat sering dibelikan buku bacaan, cerita-cerita anak kecil, kisah nabi, dan berbagai hal yang sekiranya belum wajar dibaca oleh anak seusia gue dulu. Bahkan gue sedikit ingat bahwa gue pernah dibelikan buku pada saat hari ulang tahun gue. Samar-samar, sih. Tapi gue harap bisa mendapatkan kado serupa pada tanggal 31 Agustus ke depan. Khususnya buku-buku fantasi karya Rick Riordan dan buku fantasi lain. Duh, harapan. Haha

Lama-lama, kegiatan membaca gue menjadi sebuah hobi, dan lalu sekarang berkembang pesat menjadi sebuah kebiasaan.

Salah satu keinginan terbesar gue adalah agar gue bisa menerbitkan novel, kumpulan cerpen, ataupun buku ilmiah yang menggugah. Seperti mimpi bapak gue yang dititipkan pada pikiran gue. Seperti harapan bapak gue yang terwujud dalam buku-buku yang beliau berikan pada gue.

I’m a book-a-holic.
I’m a well-known writer wanna-be, and I’ll be.
What do you think?

MY VERSION OF OSIS



Jadi, makin banyak aja orang yang skeptis terhadap OSIS.

Gak terhitung deh berapa kali gue denger kata-kata yang jelek tentang OSIS. OSIS tuh bikin cape! OSIS tuh penindas! OSIS gak rame! OSIS tuh bla bla bla!
Gue berani bilang kalo orang-orang yang berkata hal-hal jelek tentang OSIS gak pernah sekalipun mendudukkan diri di tengah forum yang membahas berbagai rencana yang bermanfaat bagi dirinya sendiri.
Dan gue dengan amat sangat berani berkata bahwa OSIS gak seperti apa yang orang-orang katakan.

Loyalis? Bukan. Gue bukan loyalis OSIS. Duh, jauuuuh dari kata loyalis gue. Tapi, gue adalah orang paling pertama yang akan berterimakasih kepada OSIS, khususnya OSIS SMAN 2 Sumedang.
Disini, gue ditempa sedemikian rupa agar menjadi pribadi yang tahan banting. Yang lebih mandiri. Yang lebih dewasa. Yang lebih baik.
Dua tahun ke belakang, gue hanyalah sesosok ulat tak kasat mata di ujung ruangan bernama kelas. Berbicara saat ditanya, dan bertanya saat terpaksa. “Bungkam sebisa mungkin” secara tidak disengaja telah menjadi motto hidup gue saat peresmian gue sebagai murid SMAN 2 Sumedang. Kehidupan monoton gue sudah bisa dibayangkan. Hal ini diperparah dengan predikat gue sebagai murid termuda karena suatu program yang gue jalankan di SMP. Kebayang gak tuh, saat lo menjadi murid termuda, dikelilingi oleh teman-teman seangkatan yang mestinya lo panggil ‘kakak’, terus gak ada satupun dari mereka yang memahami hobi lo, atau segala sesuatu tentang lo? Kebayang gak tuh dikelilingi orang-orang yang membicarakan hal-hal yang sama sekali gak pernah lo ingin dengarkan? Pada hari pertama gue duduk di bangku yang disediakan untuk gue, gue sudah bisa membayangkan akan menjadi sesuram apa hidup gue.....
Gue menemukan sebuah passion baru setelah dibukanya pencarian anggota OSIS, Organisasi Siswa Intra Sekolah. Gue harap, dengan ikutnya gue ke dalam OSIS ini, gue akan menemukan status baru. Gue harap gue akan merubah predikat gue sebagai “murid-termuda-yang-ansos-dan-calon-alat-contekan-dengan-hidup-super-suram-se-SMA” menjadi “murid-SMA-resmi-dengan-hidup-senormal-teman-teman-seangkatan-gue”. Dengan bahagianya, gue mendaftarkan diri sebagai anggota OSIS SMAN 2 Sumedang.
Tapi.......
Mendapat jabatan di OSIS itu gak semudah yang dipikirkan. Jalan menuju jabatan itu sendiri mesti melewati beberapa jalan yang menyita waktu dan tenaga. Jalan apakah itu? Yap. Interview. Dimulai dari interview MPK sampai interview OSIS mesti gue lewati. Gue menjalani interview beberapa kali, dan itu cukup lama pake sekali.
Tapi, kalo direnungi, interview semacam itulah yang nantinya akan benar-benar gue hadapi di masyarakat nanti. Bahkan mungkin lebih berat. Jadi, sudah seharusnya gue bersyukur telah mendapatkan pengalaman pra-kerja dan berterimakasih pada pewawancara yang telah mewawancarai gue.

SKIP. Lalu, pada akhirnya, gue diterima sebagai Bendahara 2 OSIS. Pengurus inti. Padahal, gue mengajukan diri untuk menjadi anggota sekbid 5 atau 8. Antara seneng dan gak seneng sih. Seneng, karena sudah dipercaya untuk menjadi salah satu pengurus inti. Gak senengnya, karena gue dibayang-bayangi oleh jabatan kakak gue dahulu kala. Nggak kok, kakak gue gak melakukan apa-apa supaya gue bisa menjadi anggota OSIS. Tapi, jabatannya dulu sebagai, ehem, sebagai salah satu pengurus paling inti di OSIS, sejak saat itu terus menempel pada pundak gue.
Jika gue boleh memilih, gue lebih memilih berjuang untuk bisa diterima di sekolah baru gue ketimbang diterima berkat bayang-bayang kakak gue. Itu rasanya kaya guru-guru dan senior-senior lo segan kepada lo bukan karena tindak-tanduk atau perjuangan lo, melainkan karena bayangan yang diperjuangkan kakak lo dahulu kala. Rasanya kaya, ng, ah hard to explain pokoknya. Tapi yaa terlepas dari itu semua, gue bersyukur punya kakak yang teramat heroik—menyelaraskan waktu bak Atlas. Eh, bohong ding. Pokoknya bersyukur lah gue. Cuma bayang-bayangnya itu lho...

So, setahun yang lalu, gue resmi menjabat sebagai pengurus OSIS SMAN 2 Sumedang. Yippie!
Harapan gue untuk menjadi “murid-SMA-resmi-dengan-hidup-senormal-teman-teman-seangkatan-gue” perlahan-lahan mulai kabur. Ini gak normal. Temen-temen gue santai banget tiap harinya. Sedangkan gue, uh! Sebaliknya!! Pada masa-masa awal gue menjadi pengurus OSIS, gue merasa seperti pegawai magang yang setiap harinya disesaki oleh tugas-tugas.
Tapi, lama-kelamaan, itu tuh udah kaya jalan hidup lah istilah lebaynya. Meski gitu, gue seneng banget banget bisa ambil bagian dari sirkulasi waktu yang gak wajar bagi anak-anak OSIS. Gue jadi terbiasa untuk mengurus keuangan (sedikit sih hehe), terbiasa untuk berbicara di depan umum, terbiasa untuk bekerja ekstra, terbiasa untuk mandiri, terbiasa untuk bersikap dewasa, terbiasa terbiasa terbiasa.
And now, this is me. Cewe yang sama sekali beda dengan gue 2 tahun yang lalu. Gue udah gak malu lagi buat berbicara di depan umum. Gue udah gak malu lagi buat mengekspresikan kreasi gue. Gue udah gak malu lagi untuk berargumen. Gue udah gak malu lagi untuk menyanggah pembicaraan orang lain (secara gitu, dulu gue cuma bisa menganggukan kepada atas semua hal yang dikatakan oleh para tiran-tiran berseragam putih-abu!). Dan voila! Citra gue sebagai “murid-SMA-resmi-dengan-hidup-senormal-teman-teman-seangkatan-gue” berubah menjadi “murid-SMA-resmi-dengan-hidup-gak-normal-normal-amat-cenderung-gila-dan-salah-satu-dari-orang-orang-hopeless-yang-berubah-karena-pengalaman”. Kepanjangan? Well, intinya, gue bukan lagi seorang murid resmi, gue adalah murid hopeless dengan visi yang lebih jelas (meskipun kian hari kian suram) karena ditempa pengalaman. Gue amat sangat bersyukur bisa masuk ke dalam sekumpulan orang-orang luar biasa dalam OSIS SMAN 2 Sumedang. Gue sangaaaaat berterimakasih pada setiap aspek di OSIS dan SMAN 2 Sumedang itu sendiri yang telah memberikan gue kesempatan mengecap berbagai macam hal yang gak pernah gue dapatkan seumur-umur. Pengalaman, kenangan, dan juga teman. Teman yang sungguuuuuh luar biasa.

Meski gitu, organisasi resmi sekolah ini sepertinya masih menutup diri dan enggan untuk memberikan kelulusan bagi gue dalam bidang kebersamaan. Gue mungkin masih gue yang dulu, si pendiam dengan kehidupannya yang tertutup. Gue mungkin adalah satu-satunya pengurus yang lebih memilih untuk diam dan tidak mengobrol dengan pengurus lainnya. Mungkin gue masih gue yang dulu, si jutek yang acuh pada sekeliling. However, this is meeeeeeeee!

Gue gak akan bilang ini langsung di depan forum, dan gue gak akan bilang ini lain kali. Gue. Mencintai. OSIS.

Jadi, tolong, untuk semuanya, jangan memandang skeptis OSIS. You know its name, not the essence. Dan untuk semua pengurus OSIS, carilah esensi itu. Gue telah menemukan satu esensi OSIS bagi hidup gue, dengan jalan gue sendiri. Perjalanan gue mencari esensi itu dimulai dengan keluhan. Dan untuk kalian yang mengeluh, mulailah mencari. Karena kini, giliran kalian.

JUST A WORD



Minggu, 26 Januari 2014.

Hari ini, Lomba Cepat Tepat MIPA (LCTMIPA) SMAN 2 Sumedang yang bertema “Learning Exact, Exactly Fun” telah selesai dilaksanakan. Rasanya? Exactly awesoooome! Gak cuma hadiah serta pemenangnya, rasa cape panitianya juga awesooome! Total awesome!

Hasil akhir dari lombanya, SMPN 1 Sumedang jadi juara umum setelah menjawab satu soal tambahan karena skor akhirnya sempet draw sama SMPN 5 Sumedang. Gue sebagai alumnus SMPN 1—yang kebetulan juga menjadi pembaca soal dari akhir sampai awal acara—merasa awesoooome! Bahagia? Pasti!

Tapi, yang membuat gue bahagia bukan itu. Itu hanyalah satu kebahagiaan kecil gue. Yang membuat gue begitu bahagia, adalah saat melihat kebahagiaan panitia, peserta, pembimbing, guru-guru MIPA, dan suporter. Well, mungkin sebagian dari lo akan bilang bahwa gue terlalu lebay atau alay. Whatever, gue benar-benar tulus. Tulus berbahagia atas teman-teman gue yang bahagia. Ini bukan cuma sekedar pencitraan atau gue yang terlalu terhasut sama momen-momen di drama yang gue tonton.

Gimana yaa? Ah hard to say pokoknya. Gue sendiri gak ngerti kenapa gue bisa begitu bahagia. Melihat orang di sekitar gue bahagia itu menjadi moodbooster utama bagi gue. Ini aneh, karena, gue yang dulu adalah orang yang jutek, gak pedulian, pasif. Tapi sekarang, gue merasa bahwa merupakan sebuah dosa saat gue tidak mengapresiasi kebahagiaan orang lain. Lebay? Whatever J

Gue gak tau sejak kapan tawa orang-orang di sekitar gue, pun dengan orang-orang asing yang gue kenal, menjadi begitu berharga. Saat semua tertawa, rasanya bahagiaaa banget. Well, meskipun sampai sekarang, gue masih belum bisa menjadi orang yang berharga dan berguna bagi mereka. But I always give my best to anything, to anyone. No matter if no one beware of my effort. I’d still give my best.

Banyak yang enggan (?) berbicara sama gue ataupun bercanda. Mereka pikir gue gak akan tertarik sama pembicaraan mereka. Oh, c’mon! Meskipun gue gak selalu menatap ke arah mata lawan bicara, telinga gue akan selalu berperan. I’ll do my best to listen. Just trust it!

Bicara apa sih gue? Abaikan lah.
Tapi, ada satu lagi kebahagiaan gue. Ini kebahagiaan terbesar gue.

Gue tau, seberapa keras pun gue mencoba untuk mendengarkan dan jadi tempat orang-orang di sekitar gue berbicara, gue gak akan mendapat tempat. Maka, gue menempatkan diri gue untuk menjadi pendorong dan berbuat sesuatu di belakang mereka, dan gak akan pernah disadari. Tapi, ternyata, praduga gue salah. Beberapa orang (mungkin) sadar dan lalu berterimakasih pada gue. Lebih jauh, ada yang menyebut gue sebagai motivator mereka. Maaaaaaan....

Gue, gue.. ah hard to explain. Gue terharu. Asli. Seorang gue yang disebut oleh sebagian besar orang tipe orang yang serius dan cuek, diberi kata ‘terimakasih’ atas apa yang gue perbuat, lalu disebut motivator. It’s a pride...

Karena, hanya dengan ‘kebahagiaan’ orang lain dan kata ‘terimakasih’ yang tulus dari orang-orang di sekitar gue, ada arti gue telusuri hidup ini. Maka, gue akan terus berusaha, meski tanpa disadari. Meski gue hanya akan menjadi figuran di sebuah layar.

You know, I’ve always been wanted to give all of you the strength to stand against this cruel world. But, even though you think that I’m a coolest and strongest girl, I do not have the huge power to be shared with you. In fact, I have no bravery on my words to be shown properly. So I keep listen. I keep caring you in another side of reality.
Here my ears to hear your tears. Just trust it...