Jumat, 23 Mei 2014

Saat Mahabbah (Cinta) Diinterpretasikan Salah = Musibah!

Bismillah, mencoba untuk mengupas masalah 'pacaran' dalam kacamata Islam (mungkin) dan pandangan pribadi. Jika ada kesalahan, jangan ragu untuk memberitahukannya ^^
Ini adalah materi khitobah (ceramah) saya di depan kelas seminggu yang lalu. Semoga bermanfaat!

---------------------------


SAAT MAHABBAH DIINTERPRETASIKAN SALAH = MUSIBAH!

Bismillaahirrahmaanirraahiim.
Assalaamu’alaykum warahmatullaahi wabarakaatuh.
Alhamdulillaahirabbil’aalamiin. Wabihi nasta’iinu ‘alaa umuuriddunya waddiin. Wassholaatu wassalaamu ‘alaa asrofil anbiyai wal-mursaliin, wa’alaa aalihi washohbihi ajmain. Amma ba’du.
Puji dan syukur marilah kita panjatkan ke hadirat Ilahi Rabbi, yang dengan karunia-Nya lah kita semua masih dapat merasakan Al-Kautsar (nikmat yang banyak) termasuk nikmat Islam dan Iman. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam, kepada keluarganya, kepada sahabatnya, dan kepada kita selaku ummatnya yang mencintai dan taat hingga akhir hayat.
Berbicara tentang cinta, saya ingin bertanya mengenai cinta menurut rekan-rekan. Pastilah rekan-rekan mendefinisikannya dengan macam-macam kalimat yang indah, dan lain sebagainya.
Menurut Kahlil Gibran, cinta tidak punya makna selain mewujudkan maknanya sendiri. Cinta tidak memberikan apa-apa pada manusia, kecuali keseluruhan dirinya, dan cinta pun tidak mengambil apa-apa dari manusia, kecuali dari dirinya sendiri.
Dalam Al-Qur’an, setidaknya terdapat 4 jenis cinta, yakni:
1.      Cinta syaghaf, yaitu cinta yang sangat mendalam, alami, orisinil, dan memabukkan. Orang yang terserang cinta jenis syaghaf (qad syaghafaha hubba) bisa seperti orang gila, lupa diri dan hampir-hampir tidak menyadari apa yang dilakukan. Al-Qur’an menggunakan kata ini ketika mengisahkan bagaimana cintanya Zulaikha, istri pembesar Mesir kepada Yusuf.
2.      Cinta ra’fah, yaitu rasa kasih yang dalam hingga mengalahkan norma-norma kebenaran, misalnya kasihan kepada anak sehingga tidak tega membangunkannya untuk shalat, membelanya meskipun salah. Al-Qur’an menyebut kata ini ketika mengingatkan agar janganlah cinta ra’fah menyebabkan orang tidak menegakkan hukum Allah, dalam hal ini hukuman bagi pezina (Q.S. 24:2)
3.      Cinta shobwah, yaitu cinta buta, cinta yang mendorong perilaku penyimpang tanpa sanggup mengelak. Al-Qur’an menyebut ini ketika mengisahkan bagaimana Nabi Yusuf berdoa agar dipisahkan dengan Zulaikha yang setiap hari menggodanya (mohon dimasukkan penjara saja), sebab jika tidak, lama kelamaan Yusuf tergelincir juga dalam perbuatan bodoh (Q.S. 12:33)
4.      Cinta kulfah, yakni cinta yang disertai kesadaran mendidik kepada hal-hal positif meski sulit (Q.S. 2:286)
Namun, kian hari, kian marak muslimin dan muslimah—terutama muslimin dan muslimah remaja—yang salah menginterpretasikan cinta atau mahabbah ini. Tak sedikit yang beranggapan bahwa rasa cinta kepada lawan jenis harus diwujudkan dalam satu ikatan, yang kini lebih dikenal dengan istilah ‘pacaran’.
Terdapat banyak sekali beda pendapat mengenai hukum berpacaran. Sebagian ummat mengatakan bahwa hukum berpacaran adalah haram, dan sebagian lainnya mengatakan bahwa berpacaran adalah sah-sah saja, asalkan tidak melewati batas. Nah, bagaimana hukum berpacaran dalam Islam itu sendiri?

PACARAN DALAM ISLAM

Sesungguhnya, tidak ada ayat maupun hadits yang mengatakan secara gamblang mengenai hukum berpacaran dalam Islam. Hal inilah yang menimbulkan anggapan bahwa berpacaran adalah hal yang halal dalam Islam.
Akan tetapi, dalam Al-Qur’an surat Al-Israa ayat 32, Allah ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Q.S. Al-Israa 17:32)
Mengapa pacaran dianggap sebagai perbuatan yang mendekati zina? Jelas, hal ini dikarenakan pacaran yang marak ditemukan dewasa kini bermula dari bertatapan mata, mendengarkan suara, membayang-bayangkan atau melamunkan sang pujaan hati, selalu memikirkan pujaan hati, dan lalu diikuti dengan pelbagai aktivitas berkhalwat (berduaan). Tak lepas sampai disitu, aktivitas berkhalwat seringkali dibarengi juga dengan aktivitas berpegangan tangan, bertatapan, dan aktivitas yang lebih intim dari hal itu. Padahal sudah jelas, berpegangan tangan antar anak Adam yang bukan mahrom adalah haram.
 “Demi Allah, sungguh jika kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan jarum daru besi, maka itu lebih baik dari menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” [H.R. Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi dari Ma’qil bin Yasar radhiyallaahu ‘anhu, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-shahihah no. 226]
Bahkan Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wasallam, kekasih Allah—pun tidak pernah bersentuhan dengan wanita yang bukan mahromnya.
“Demi Allah, tangan Rasulullaah saw tidak pernah menyentuh tangan wanita (bukan mahram) sama sekali meskipun dalam keadaan memba’iat. Beliau tidak memba’iat mereka kecuali dengan mengatakan: ‘Saya bai’at kalian.’” [H.R. Al-Bukhari]
Tapi, bagaimana jika pacaran tidak diikuti dengan aktivitas berpegangan tangan? Bukankah sah-sah saja? Toh, tidak melanggar syariat, kan?
Dari Abu Hurairah radiyallaahu ‘anhu, Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga adalah mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.” [H.R. Muslim no. 6925]
Jika kita melihat pada hadits di atas, menyentuh lawan jenis yang bukan mahrom diistilahkan dengan berzina. Hal ini berarti menyentuh lawan jenis adalah perbuatan yang haram karena berdasarkan kaidah ushul “apabila sesuatu dinamakan dengan sesuatu lain yang haram, maka menunjukkan bahwa perbuatan tersebut adalah haram.” (Tasyir Ilmi ushul Fiqih, Abdullah bin Yusuf Al Juda’i).
Jadi, sudah jelas bahwa aktivitas-aktivitas yang meskipun tidak disertai dengan bersentuhan tangan, tetapi tetap menimbulkan syahwat pada seseorang, maka dosa-lah ia. Tidak peduli meskipun status keduanya berpacaran. Sedangkan dosa zina itu sudah jelas: didera 100 kali dengan disaksikan oleh orang-orang yang beriman dan tanpa belas kasihan agar menimbulkan efek jera bagi si pezina. Itu baru zina. Bagaimana jika zina-nya dilaksanakan oleh seluruh anggota badan, berkali-kali, dan farji membenarkan yang demikian? Sungguh, api neraka sangatlah dahsyat panasnya.

CINTA TAK HARUS DISALURKAN LEWAT PACARAN

Pacaran, terkadang juga mengundang acara ‘berkhalwat’ atau berduaan antara ikhwan dan akhwat yang bukan mahrom. Berkhalwat sudah seperti hal yang wajib ditunaikan saat berpacaran.
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah seorang laki-laki sendirian dengan seorang wanita yang tidak disertai mahramnya. Karena sesungguhnya yang ketiganya adalah syaitan.” [H.R. Imam Ahmad]

Lalu harus dengan apakah cara menyalurkan rasa cinta itu?
Dari Ibnu Abbas, Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kami tidak pernah mengetahui solusi untuk dua orang yang saling mencintai semisal pernikahan.” [H.R. Ibnu Majah no. 1920. Dishahihkan oleh Syaikh Albani]
Jika belum cukup umur untuk menikah?
“Barangsiapa yang mampu untuk menikah, maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagaikan kebiri.” [H.R. Bukhari dan Muslim]
Muncul pertanyaan, jika kita tidak pacaran, bagaimana mungkin kita bisa mengetahui mana pasangan yang tepat untuk masa depan kita nanti? Pacaran kan hanya untuk sosialisasi?

Jangan takut. Sesungguhnya, dalam Islam, diperkenalkan suatu istilah ta’aruf. Ta’aruf adalah perkenalan antara ikhwan dan akhwat sebelum terlaksananya pernikahan. Tapi, tidak dengan melanggar batas-batas syari’at. Dan yang melaksanakan ta’aruf biasanya dan sebaiknya adalah ikhwan dan akhwat yang sudah cukup umurnya, matang kepribadiannya, serta sudah siap untuk menikah. Bukan ikhwan dan akhwat yang masih berstatus pelajar, yang mengatasnamakan cinta untuk bermaksiat. Yang berganti-ganti pasangan layaknya memakan gorengan seharga Rp. 500. Dipilih-dipilih, disentuh-sentuh, tapi tidak pasti terbeli. Jodoh itu seperti cupcake, mahal, terhormat, diletakkan pada etalase, dirawat, dilarang disentuh sebelum dibeli. Dibeli dengan mahar.
Jadi intinya, boleh tidak kita berpacaran? Islam sendiri (menurut beberapa sumber yang saya himpun) memperbolehkan adanya perkenalan antara ikhwan (laki-laki) dan akhwat (perempuan) sekedar melakukan nadzar (melihat calon istri sebelum dinikahi, dengan didampingi mahramnya), itu dianggap sebagai pacaran. Atau setidaknya, diistilahkan demikian. Namun itu sungguh merupakan perancuan istilah. Istilah pacaran sudah kadung dipahami sebagai hubungan lebih intim antara sepasang kekasih, yang diaplikasikan dengan jalan bareng, jalan-jalan, saling berkirim surat, ber SMS ria, dan berbagai hal lain, yang jelas-jelas disisipi oleh banyak hal-hal haram, seperti pandangan haram, bayangan haram, dan banyak hal-hal lain yang bertentangan dengan syariat.
Nah, dalam hemat pribadi saya sendiri, pacaran itu boleh ASALKAN: tidak berkhalwat, tidak disisipi oleh hal-hal haram, tidak mengesampingkan Allah, tidak memandang langsung sang doi yang langsung menimbulkan hasrat, tidak mengutamakan doi, tidak merayu doi, tidak bertingkah selayaknya orang yang telah menikah, tidak melaksanakan hal-hal yang dilarang agama. Lantas, muncul pertanyaan: “Terus apa bedanya dengan pertemanan biasaaaaa?!” Naaah, jadi, saya lebih menyarankan ukhti dan akhi untuk berteman daripada pacaran, selain bisa mengetahui sang doi lebih dekat, tidak akan ada istilah ‘putus silaturrahmi’ setelah putus hubungan. Pertemanan itu ever lasting, pacaran itu ever breaking XD
“Sesungguhnya Allah swt pada hari kiamat berfirman: “Dimanakah orang yang cinta mencintai karena keagungan-Ku? Pada hari ini aku akan menaungi di hari yang tiada naungan melainkan naungan-Ku.” [H.R. Muslim]

1 komentar: