Ini adalah materi khitobah (ceramah) saya di depan kelas seminggu yang lalu. Semoga bermanfaat!
---------------------------
SAAT MAHABBAH DIINTERPRETASIKAN SALAH = MUSIBAH!
Bismillaahirrahmaanirraahiim.
Assalaamu’alaykum
warahmatullaahi wabarakaatuh.
Alhamdulillaahirabbil’aalamiin.
Wabihi nasta’iinu ‘alaa umuuriddunya waddiin. Wassholaatu wassalaamu ‘alaa
asrofil anbiyai wal-mursaliin, wa’alaa aalihi washohbihi ajmain. Amma ba’du.
Puji
dan syukur marilah kita panjatkan ke hadirat Ilahi Rabbi, yang dengan
karunia-Nya lah kita semua masih dapat merasakan Al-Kautsar (nikmat yang
banyak) termasuk nikmat Islam dan Iman. Shalawat serta salam semoga selalu
tercurah limpahkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi
wasallam, kepada keluarganya, kepada sahabatnya, dan kepada kita selaku
ummatnya yang mencintai dan taat hingga akhir hayat.
Berbicara
tentang cinta, saya ingin bertanya mengenai cinta menurut rekan-rekan. Pastilah
rekan-rekan mendefinisikannya dengan macam-macam kalimat yang indah, dan lain
sebagainya.
Menurut
Kahlil Gibran, cinta tidak punya makna selain mewujudkan maknanya sendiri.
Cinta tidak memberikan apa-apa pada manusia, kecuali keseluruhan dirinya, dan
cinta pun tidak mengambil apa-apa dari manusia, kecuali dari dirinya sendiri.
Dalam
Al-Qur’an, setidaknya terdapat 4 jenis cinta, yakni:
1.
Cinta syaghaf,
yaitu cinta yang sangat mendalam, alami, orisinil, dan memabukkan. Orang yang
terserang cinta jenis syaghaf (qad syaghafaha hubba) bisa seperti orang gila,
lupa diri dan hampir-hampir tidak menyadari apa yang dilakukan. Al-Qur’an
menggunakan kata ini ketika mengisahkan bagaimana cintanya Zulaikha, istri
pembesar Mesir kepada Yusuf.
2.
Cinta ra’fah,
yaitu rasa kasih yang dalam hingga mengalahkan norma-norma kebenaran, misalnya
kasihan kepada anak sehingga tidak tega membangunkannya untuk shalat,
membelanya meskipun salah. Al-Qur’an menyebut kata ini ketika mengingatkan agar
janganlah cinta ra’fah menyebabkan orang tidak menegakkan hukum Allah, dalam
hal ini hukuman bagi pezina (Q.S. 24:2)
3.
Cinta shobwah,
yaitu cinta buta, cinta yang mendorong perilaku penyimpang tanpa sanggup
mengelak. Al-Qur’an menyebut ini ketika mengisahkan bagaimana Nabi Yusuf berdoa
agar dipisahkan dengan Zulaikha yang setiap hari menggodanya (mohon dimasukkan
penjara saja), sebab jika tidak, lama kelamaan Yusuf tergelincir juga dalam
perbuatan bodoh (Q.S. 12:33)
4.
Cinta kulfah,
yakni cinta yang disertai kesadaran mendidik kepada hal-hal positif meski sulit
(Q.S. 2:286)
Namun, kian hari, kian marak
muslimin dan muslimah—terutama muslimin dan muslimah remaja—yang salah
menginterpretasikan cinta atau mahabbah ini. Tak sedikit yang beranggapan bahwa
rasa cinta kepada lawan jenis harus diwujudkan dalam satu ikatan, yang kini
lebih dikenal dengan istilah ‘pacaran’.
Terdapat banyak sekali beda
pendapat mengenai hukum berpacaran. Sebagian ummat mengatakan bahwa hukum
berpacaran adalah haram, dan sebagian lainnya mengatakan bahwa berpacaran
adalah sah-sah saja, asalkan tidak melewati batas. Nah, bagaimana hukum
berpacaran dalam Islam itu sendiri?
PACARAN DALAM ISLAM
Sesungguhnya, tidak ada ayat maupun
hadits yang mengatakan secara gamblang mengenai hukum berpacaran dalam Islam.
Hal inilah yang menimbulkan anggapan bahwa berpacaran adalah hal yang halal
dalam Islam.
Akan tetapi, dalam Al-Qur’an surat
Al-Israa ayat 32, Allah ta’ala berfirman:
“Dan
janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Q.S. Al-Israa 17:32)
Mengapa
pacaran dianggap sebagai perbuatan yang mendekati zina? Jelas, hal ini
dikarenakan pacaran yang marak ditemukan dewasa kini bermula dari bertatapan
mata, mendengarkan suara, membayang-bayangkan atau melamunkan sang pujaan hati,
selalu memikirkan pujaan hati, dan lalu diikuti dengan pelbagai aktivitas
berkhalwat (berduaan). Tak lepas sampai disitu, aktivitas berkhalwat seringkali
dibarengi juga dengan aktivitas berpegangan tangan, bertatapan, dan aktivitas
yang lebih intim dari hal itu. Padahal sudah jelas, berpegangan tangan antar
anak Adam yang bukan mahrom adalah haram.
“Demi Allah, sungguh jika kepala salah seorang dari
kalian ditusuk dengan jarum daru besi, maka itu lebih baik dari menyentuh
wanita yang tidak halal baginya.” [H.R. Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi dari Ma’qil
bin Yasar radhiyallaahu ‘anhu, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam
Ash-shahihah no. 226]
Bahkan Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wasallam, kekasih
Allah—pun tidak pernah bersentuhan dengan wanita yang bukan mahromnya.
“Demi
Allah, tangan Rasulullaah saw tidak pernah menyentuh tangan wanita (bukan
mahram) sama sekali meskipun dalam keadaan memba’iat. Beliau tidak memba’iat
mereka kecuali dengan mengatakan: ‘Saya bai’at kalian.’” [H.R. Al-Bukhari]
Tapi, bagaimana jika pacaran tidak diikuti dengan
aktivitas berpegangan tangan? Bukankah sah-sah saja? Toh, tidak melanggar
syariat, kan?
Dari Abu Hurairah radiyallaahu
‘anhu, Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Setiap anak Adam
telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak
bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga adalah
mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba
(menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan
menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan
atau mengingkari yang demikian.” [H.R. Muslim no. 6925]
Jika
kita melihat pada hadits di atas, menyentuh lawan jenis yang bukan mahrom
diistilahkan dengan berzina. Hal ini berarti menyentuh lawan jenis adalah
perbuatan yang haram karena berdasarkan kaidah ushul “apabila sesuatu dinamakan
dengan sesuatu lain yang haram, maka menunjukkan bahwa perbuatan tersebut
adalah haram.” (Tasyir Ilmi ushul Fiqih, Abdullah bin Yusuf Al Juda’i).
Jadi,
sudah jelas bahwa aktivitas-aktivitas yang meskipun tidak disertai dengan
bersentuhan tangan, tetapi tetap menimbulkan syahwat pada seseorang, maka
dosa-lah ia. Tidak peduli meskipun status keduanya berpacaran. Sedangkan dosa
zina itu sudah jelas: didera 100 kali dengan disaksikan oleh orang-orang yang
beriman dan tanpa belas kasihan agar menimbulkan efek jera bagi si pezina. Itu
baru zina. Bagaimana jika zina-nya dilaksanakan oleh seluruh anggota badan,
berkali-kali, dan farji membenarkan
yang demikian? Sungguh, api neraka sangatlah dahsyat panasnya.
CINTA
TAK HARUS DISALURKAN LEWAT PACARAN
Pacaran,
terkadang juga mengundang acara ‘berkhalwat’ atau berduaan antara ikhwan dan
akhwat yang bukan mahrom. Berkhalwat sudah seperti hal yang wajib ditunaikan
saat berpacaran.
“Barangsiapa beriman kepada Allah
dan hari akhir, maka janganlah seorang laki-laki sendirian dengan seorang
wanita yang tidak disertai mahramnya. Karena sesungguhnya yang ketiganya adalah
syaitan.” [H.R. Imam Ahmad]
Lalu
harus dengan apakah cara menyalurkan rasa cinta itu?
Dari Ibnu Abbas, Rasulullaah
shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kami tidak pernah mengetahui solusi
untuk dua orang yang saling mencintai semisal pernikahan.” [H.R. Ibnu Majah no.
1920. Dishahihkan oleh Syaikh Albani]
Jika
belum cukup umur untuk menikah?
“Barangsiapa yang mampu untuk
menikah, maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih
menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa
itu bagaikan kebiri.” [H.R. Bukhari dan Muslim]
Muncul
pertanyaan, jika kita tidak pacaran, bagaimana mungkin kita bisa mengetahui
mana pasangan yang tepat untuk masa depan kita nanti? Pacaran kan hanya untuk
sosialisasi?
Jangan
takut. Sesungguhnya, dalam Islam, diperkenalkan suatu istilah ta’aruf. Ta’aruf
adalah perkenalan antara ikhwan dan akhwat sebelum terlaksananya pernikahan.
Tapi, tidak dengan melanggar batas-batas syari’at. Dan yang melaksanakan
ta’aruf biasanya dan sebaiknya adalah ikhwan dan akhwat yang sudah cukup
umurnya, matang kepribadiannya, serta sudah siap untuk menikah. Bukan ikhwan
dan akhwat yang masih berstatus pelajar, yang mengatasnamakan cinta untuk
bermaksiat. Yang berganti-ganti pasangan layaknya memakan gorengan seharga Rp.
500. Dipilih-dipilih, disentuh-sentuh, tapi tidak pasti terbeli. Jodoh itu
seperti cupcake, mahal, terhormat,
diletakkan pada etalase, dirawat, dilarang disentuh sebelum dibeli. Dibeli dengan
mahar.
Jadi
intinya, boleh tidak kita berpacaran? Islam sendiri (menurut beberapa sumber
yang saya himpun) memperbolehkan adanya perkenalan antara ikhwan (laki-laki)
dan akhwat (perempuan) sekedar melakukan nadzar
(melihat calon istri sebelum dinikahi, dengan didampingi mahramnya), itu
dianggap sebagai pacaran. Atau setidaknya, diistilahkan demikian. Namun itu
sungguh merupakan perancuan istilah. Istilah pacaran sudah kadung dipahami
sebagai hubungan lebih intim antara sepasang kekasih, yang diaplikasikan dengan
jalan bareng, jalan-jalan, saling berkirim surat, ber SMS ria, dan berbagai hal
lain, yang jelas-jelas disisipi oleh banyak hal-hal haram, seperti pandangan
haram, bayangan haram, dan banyak hal-hal lain yang bertentangan dengan
syariat.
Nah, dalam hemat pribadi saya sendiri, pacaran itu
boleh ASALKAN: tidak berkhalwat, tidak disisipi oleh hal-hal haram, tidak
mengesampingkan Allah, tidak memandang langsung sang doi yang langsung
menimbulkan hasrat, tidak mengutamakan doi, tidak merayu doi, tidak bertingkah
selayaknya orang yang telah menikah, tidak melaksanakan hal-hal yang dilarang
agama. Lantas, muncul pertanyaan: “Terus apa bedanya dengan pertemanan
biasaaaaa?!” Naaah, jadi, saya lebih menyarankan ukhti dan akhi untuk berteman
daripada pacaran, selain bisa mengetahui sang doi lebih dekat, tidak akan ada
istilah ‘putus silaturrahmi’ setelah putus hubungan. Pertemanan itu ever lasting, pacaran itu ever breaking XD
“Sesungguhnya Allah swt pada hari
kiamat berfirman: “Dimanakah orang yang cinta mencintai karena keagungan-Ku?
Pada hari ini aku akan menaungi di hari yang tiada naungan melainkan
naungan-Ku.” [H.R. Muslim]
Good... Love it... Syukron ilmunya ukhti...
BalasHapus